Thursday, May 19, 2011

Intelijen

HAMPIR sepuluh tahun, Amerika Serikat memburu tokoh Tandzim Alqaidah, Usamah bin Ladin (sering ditulis sebagai Osama bin Laden). Perburuan dimulai setelah gedung World Trade Center (WTC) di New York ambruk diserang kelompok teroris. Telunjuk George W Bush, presiden AS kala itu, langsung menunjuk Usamah bin Ladin dan Alqaidah berada di balik teror itu.

Maka menyebarlah agen-agen andalan Central Intelligence Agency (CIA) ke pelosok-pelosok negeri kaum mullah, ke negeri Saddam Husein, ke gurun-gurun tandus Pakistan, untuk memburu Usamah yang jiwanya dihargai 25 miliar dolar AS.
Intel-intel CIA yang dibekali segunung peralatan tercanggih untuk mendeteksi keberadaan Usamah. Setiap titik, sekecil apapun, informasi, mereka selidiki dan telusuri.

Pengakuan dari sejumlah anggota Alqaidah yang tertangkap semakin mendekatkan jarak para intel ini dengan lokasi persembunyian Usamah bin Ladin. Dari jejak kurir-kurir kepercayaan Usamah lah akhirnya terungkap jelas bahwa tokoh nomor wahid Alqaidah itu ternyata tak berada di gua-gua dan gurun tandus di Afganistan. CIA menyakini Usamah bersembunyi di sebuah rumah mewah, mansion, di kawasan permukiman pensiunan tentara di Abbottada, sekitar 150 km dari ibukota Pakistan, Islamabad. Rumah berlantai tiga itu pun jaraknya hanya ratusan meter dari sebuah akademi militer Pakistan.

Begitu status informasi intelijen itu sudah masuk super valid, disusunlah strategi untuk menyerang kediaman Usamah. Urusan serang menyerang ini tak melibatkan secara langsung CIA. Tapi sebuah tim khusus dari Navy SEALs, pasukan khusus antiteror Angkatan Laut AS, yang bergerak di depan. Konon, setelah terlibat baku tembak, hanya dalam tempo empat puluh menit, pasukan kecil berjumlah 25 orang itu berhasil mengakhiri perburuan panjang terhadap Usamah bin Ladin.

Dari perburuan panjang itu, kita mengetahui, bahwa tanpa peran intelijen yang tak kenal lelah mengumpulkan informasi, mustahil Barrack Obama menepuk dada bisa menewaskan Usamah bin Ladin. Walau harus mengeluarkan jutaan dolar untuk proyek memburu musuh nomor wahid, kerja CIA tak sia-sia. Mereka menunjukkan bahwa intelijen yang kuat, solid, dan profesional bisa membuat negara kuat. Ancaman terhadap negara pun bisa diantisipasi sejak dini.

Berbeda dengan kondisi di negara kita. Sejak reformasi bergulir, kekuatan intelijen tak mumpuni lagi. Tak heran, konflik horizontal di tengah masyarakat sering tak bisa dicegah. Aksi terorisme pun merebak. Intelijen seolah tak mampu mengantisipasi kehadiran kelompok-kelompok berpaham radikal di sekitar masyarakat.

Belakangan ini muncul kembali isu lama, Negara Islam Indonesia (NII) KW IX. Dari sisi ideologinya, jelas NII adalah makar. Tapi upaya untuk memberangusnya tak kunjung datang. Alih-alih NII hilang dari NKRI, malah korban di kalangan mahasiswa dan pelajar yang bergabung ke NII, semakin banyak.

Padahal gerakan NII yang katanya bawah tanah itu sudah benar-benar nyata. Sangat banyak mantan-mantan anggota dan petinggi NII yang keluar. Dari mereka lah, informasi soal keberadaan NII itu datang.

Tapi begitulah, informasi itu tak kunjung menjadi sebuah aksi, seperti yang dilakukan Obama. Mengharap keresahan masyarakat soal gerakan NII KW IX berakhir rasanya masih lama. Apalagi kalau harus menunggu Rancangan Undang-Undang Intelijen beres lebih dulu. Tanpa UU itu, intelijen kita tak bisa bergerak leluasa. Tentu semakin lama dan boleh jadi korban NII pun semakin banyak. Seperti aksi intelijen Obama, pukul kepalanya, mudah- mudahan badan dan ekornya tak menggeliat lagi. Begitu pula rupanya untuk mengatasi NII KW IX dan NII lainnya. Semoga. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 5 Mei 2011.

No comments: