Thursday, May 19, 2011

Cuci Otak

BEBERAPA hari belakangan ini, marak diberitakan tentang sejumlah remaja atau mahasiswa yang menjadi korban cuci otak. Kasus Lian Febriyanti, seorang calon pegawai negeri sipil di Kementerian Perhubungan, menjadi pembuka kasus cuci otak di tahun ini.

Lian ditemukan dalam kondisi linglung di daerah Puncak, Bogor, setelah menghilang beberapa hari. Saat ditemukan, ia mengenakan cadar dan mengaku bernama Maryam. Ia hanya samarsamar mengetahui keluarganya. Masih beruntung keluarganya bisa menemukan Lian, walau harus melakukan terapi psikologis agar ingatan Lian pulih kembali.

Lalu di Malang Jawa Timur, sejumlah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang dan Universitas Brawijaya juga menjadi korban cuci otak. Mereka menjalani baiat di sebuah tempat di Jakarta. Selain itu, mereka pun dimintai uang sebagai infak yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah per orang.

Belum terhitung kasus hilang di daerah lain, termasuk di Bandung. Fitriyanti, seorang guru TK di Kiaracondong, menghilang sejak empat tahun lalu dan kini tak ada kabar beritanya.

Kasus semacam ini bukanlah hal baru. Sama seperti beberapa tahun lalu, kasus seperti ini selalu dikaitkan dengan sebuah kelompok yang mengusung ide negara Islam di Indonesia. Ide yang sebenarnya seusia dengan republik ini, bahkan jauh lebih tua.

Cuci otak sangat mungkin menjadi cara terampuh mereka untuk merekrut anggota. Simak apa yang diungkapkan pengamat terorisme yang juga ahli hipnotis, Mardigu Prasetyanto, menyebutkan modus indoktrinasi, cuci otak, atau istilah lainnya, merupakan jalan singkat untuk mencari anggota sebanyak-banyaknya.

Tapi di tayangan televisi, sejumlah mantan anggota kelompok ini membantah mereka menggunakan cara cuci otak. Mereka berkilah itu bukan cuci otak, tapi indoktrinasi.

Tentu itu alasan yang menggelikan. Berdasar kamus besar bahasa Indonesia, indoktrinasi adalah pemberian ajaran secara mendalam (tanpa kritik) atau penggemblengan mengenai suatu paham atu doktrin tertentu dengan melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja. Bukankah praktik cuci otak pun sama dan sebangun dengan pengertian indoktrinasi itu? Menanamkan pemahaman atau kebenaran baru tanpa syarat agar korban patuh terhadap apa yang diperintahkan pelaku cuci otak.

Karena bukan kasus baru, kita sangat yakin pemerintah sudah tahu persoalan ini. Entah tangan tak terlihat siapa yang bermain, pemerintah seolah tak bisa berbuat banyak.

Padahal isu yang kelompok ini bawa adalah isu genting, isu makar. Isu yang menghantui republik ini sepanjang sejarahnya. Catatan sejarah menunjukkan, dari Sabang sampai Merauki, isu "merdeka" selalu berkumandang di setiap tempat. Dan sikap tegas pun selalu diperlihatkan pemerintah dengan menumpas habis gerakan-gerakan "merdeka" itu.

Jangan biarkan gerakan kelompok ini semakin membesar. Jangan biarkan semakin banyak anak-anak muda yang hilang tanpa jejak. Jangan biarkan semakin banyak keluarga kehilangan mata jiwa mereka. Jangan biarkan api dalam sekam semakin membara. Sudah saatnya diselesaikan. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 26 April 2011

No comments: