Friday, June 18, 2010

Nasionalisme Macan Asia

DI zaman Orde Baru, Indonesia sempat disebut-sebut sebagai salah satu macan Asia, sebuah kekuatan ekonomi baru dari dunia ketiga. Cina, Jepang, Korea Selatan, dan India adalah macan-macan Asia yang lebih dulu melesat dan mapan dalam perekonomian. Sementara Indonesia, ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi saat itu plus kepemimpinan Soeharto menjadikannya sebagai negara yang tak boleh diremehkan bangsa lain.

Sayang, macan yang hendak mengaum seantero Asia itu ambruk dan kolaps diterjang krisis ekonomi tahun 1997. Hingga kini, Indonesia belum mampu tampil kembali sebagai pemimpin Asia yang disegani secara ekonomi dan politik.

Tapi lihat negara-negara lain yang memang sudah menjadi macan Asia. Mereka kian mantap memandang masa depan. Perekonomian tak tergoyahkan. Gonjang-ganjing politik lokal nasional tak membuat investor mundur secara teratur. Cina bahkan menjadi raksasa kelas dunia yang membuat Amerika Serikat ketakutan.

Tak hanya di sektor ekonomi, di sektor lain, sepak bola, misalnya, mereka pun menjadi Macan Asia. Konsistensi Korsel mengikuti Piala Dunia sejak 1986 menjadi contoh positif betapa mereka mampu menggentarkan kutub sepak bola Eropa dan Latin. Tembus ke semifinal Piala Dunia 2002 menjadi bukti bahwa Korsel sudah masuk dalam jajaran elite sepak bola dunia.

Dan pada momen Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan kali ini, muncul macan Asia baru yang patut diperhitungkan, Korea Utara (Korut), tetangga Korsel. Korea Utara (Korut) benar- benar muncul menjadi kejutan sepak bola Asia.

Walau tak mampu mengalahkan juara Piala Dunia lima kali, Brasil, Korut mempertontonkan sepak bola modern yang penuh semangat pantang menyerah. Nasionalisme heroik yang ditunjukkan para pemain Korut berbuah simpati terhadap permainan mereka.

Konon, kamp pelatihan timnas Korut sangat dirahasiakan. Mereka ditempa latihan spartan ala militer negeri komunis. Dan itu membentuk semangat nasionalisme luar biasa pada diri setiap pemain. Tengok saja, ketika lagu kebangsaan Korut, Aegukka, diperdengarkan, pemain depan Korut, si plontos Jong Tae-Se berurai air mata. Memang lagu itu merupakan lagu patriotik yang menggambarkan sebuah perjuangan.

Itulah yang ditunjukkan para pemain Korut dengan berjuang mati-matian di lapangan hijau. Ibaratnya, mati berkalang tanah pun, mereka siap, untuk bumi pertiwi.
Padahal, suporter Korut saat pertandingan itu hanya segelintir orang, bisa dihitung pakai jari. Mengenakan topi dan jaket merah, segelintir suporter ini tetap semangat mendukung hingga akhir. Tak hanya itu, warga Korea Utara yang berada di negara dikabarkan tak bisa menonton timnas kebanggaan mereka berlaga. Pasalnya, saluran televisi yang selama ini mengalir dari saudara mereka di selatan, diputus akibat konflik memanas antara dua negara bersaudara ini.

Di luar itu, seharusnya momen semacam ini dijadikan sebagai contoh oleh bangsa kita dan timnas Merah Putih. Jika mereka bisa, mengapa kita tidak bisa? Apakah karena nilai nasionalisme tak lagi bergelora di dada masing-masing putra bangsa ini? Apakah Indonesia Raya tak mampu lagi melecut semangat juang bangsa ini di arena apapun?

Mungkin, ada baiknya kita meniru Korut, mempersiapkan sebuah tim yang ditempa latihan super ketat, disiplin tinggi, dan berjiwa nasionalis sejati. Agar Indonesia tak lagi cuma bisa bermimpi berlaga di ajang terakbar sepak bola dunia. Tak lagi sekadar nonton bareng di aula kelurahan, kafe-kafe, dan hotel. Tapi menjadi bagian dari keriuhan empat tahun sekali ini. Merasakan kembali menjadi macan Asia, yang mampu menahan imbang Uni Sovyet di tahun 1960-an, dan nyaris lolos ke Piala Dunia sebelum dibungkam Korea Selatan tahun 1986.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 19 Juni 2010.


1 comment:

agus.wAZZA said...

betul sekali....