KABAR tak mengenakkan itu kembali berembus melewati celah-celah sempit telinga yang sudah beku dijejali berita politik, kampanye, dan kriminal. Seorang pembantu rumah tangga asal Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Euis Mulyati, menjadi korban kekerasan majikan, di Batam.
Selama empat tahun bekerja, Euis hanya bisa makan nasi basi. Tak sepeser pun uang atau gaji dikantongi. Tidur pun Euis bersama dua kawannya dari Sukabumi dan Jawa harus rela di sebuah ruangan bawah tanah. Malah empat bulan terakhir, Euis sama sekali tidak diberi makan.
Sungguh terlalu. Majikan Euis menyamakan derajat kemanusiaan Euis dengan hewan. Kini tubuh Euis kering kerontang bak mayat hidup. Ia divonis menderita kekurangan gizi, baik protein maupun vitamin.
Seandainya orang Arab Saudi, Malaysia, atau Singapura membaca dan mendengar berita ini, sudah pasti mereka akan tertawa: ternyata sama saja, di Indonesia juga terjadi tindak kekerasan terhadap pembantu rumah tangga. Malah lebih parah, karena pelakunya sesama orang Indonesia.
Penderitaan Euis ini ibarat kado buruk di Hari Perempuan Internasional yang diperingati kemarin. Kasus Euis menambah tebal buku catatan kasus pelanggaran hak pekerja perempuan oleh majikannya.
Kondisi ini juga menunjukkan di negeri ini masih bercokol mentalitas penjajah-terjajah, mentalitas feodal yang mengagungkan status sosial antara bangsawan dan cacah. Hubungan patron-klien seperti ini lebih mirip perbudakan dan perhambaan yang tersamarkan.
Bayangkan saja, selama empat tahun bekerja, keringat Euis tak dibayar sepeser pun. Sungguh, seandainya si majikan ini mengamalkan ajaran Nabi Muhammad, tak akan terjadi peristiwa memilukan ini. "Bayarlah upah orang-orang yang bekerja padamu sebelum keringat mereka mengering." Artinya, kalau membayar upah setelah keringat mengering, apalagi bertahun-tahun tak membayarkan upah, jelas si majikan itu telah berbuat zalim.
Derita Euis sesungguhnya derita kaum perempuan yang tak berdaya menghadapi kuasa ekonomi. Perempuan masih menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Tengok berapa banyak wanita muda dari Cianjur, Sukabumi, Kabupaten Bandung, yang bertekad menjadi tenaga kerja di negeri Timur Tengah atau Malaysia. Gemerincing ringgit ataupun riyal sungguh menggoda mereka. Tentu, karena kemiskinan telah membelenggu mereka sedemikian rupa sehingga satu-satunya jalan untuk terbebaskan dari kemiskinan adalah menjual tenaga di negeri jiran.
Ketertinggalan dalam hal pendidikan dan kekurangan dalam hal ekonomi menjadi faktor penyebab utama para perempuan ini memilih jalan singkat untuk perbaikan hidup. Inilah yang seharusnya menjadi langkah para pemimpin dan wakil rakyat sehari-hari. Bekerja keras untuk seluas-luasnya kemakmuran rakyat. Kesejahteraan tak hanya kata-kata, apalagi hanya corong saat kampanye, tapi harus ada bukti nyata. Jangan menunggu muncul Euis-Euis yang lain untuk membuktikan kiprah menyejahterakan masyarakat. ***
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 11 Maret 2009.
No comments:
Post a Comment