Monday, March 23, 2009

Segitiga Emas

ISTILAH segitiga emas biasanya merujuk pada suatu kawasan yang bila ditarik garis khayal pada tiga titik akan membentuk bidang segitiga. Kata emas menunjukkan pada potensi luar biasa yang dimiliki kawasan itu dan biasanya potensi ekonomi dan bisnis
Di Jakarta dikenal istilah Segitiga Emas di kawasan Kuningan. Kawasan itu mencakup Jalan Sudirman-Gatot Subroto-Rasuna Said. Lokasi ini menjadi pusat bisnis dan perkantoran. Jangan tanya berapa harga tanah per meter di kawasan segitiga emas. Melonjak dan mahal luar biasa, hanya karena berada bidang segitiga khayal tapi diyakini sebagai kawasan penarik uang.

Di dunia kriminal, dikenal pula segitiga emas opium yang terbentang antara Thailand, Myanmar, dan Laos. Ketiga negara ini penghasil opium terbaik. Dari daerah pedalaman dan pegunungan di tiga negara Asia Tengggara itu mengalir barang haram ke seluruh dunia. Opium pula yang menjadi modal operasional kelompok-kelompok mafia kejahatan, baik tradisional maupun modern, di kawasan itu.

Hubungan segitiga ini memang strategis, sekaligus misterius. Strategis karena kekuatan bisa lebih meningkat ketimbang hubungan dua pihak. Misterius, mengingatkan kita pada Segitiga Bermuda, yang hingga kini masih bisa disebut tempat paling misterius di dunia.

Karena strategis itu pula, Suryadarma Ali, Ketua Umum DPP PPP, melontarkan gagasan golden triangle (segitiga emas) seusai bertemu dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.

Koneksi tiga arah itu antara PPP, PDIP, dan Partai Golkar. Partai Golkar sudah bersepakat dengan PDIP, dan PPP pun bersepakat dengan PDIP. Suryadarma menyebut pertemuan itu selangkah menuju koalisi.

Ketiga partai ini adalah partai yang lahir dan dibesarkan di zaman Orde Baru. Bedanya, saat itu Partai Golkar menjadi ruling party (partai penguasa) sehingga identik dengan Orde Baru. Saking identiknya, di zaman reformasi Akbar Tandjung sampai harus beriklan Golkar Baru yang reformis untuk meluruhkan stigma Orde Baru. Sementara dua partai lainnya adalah "musuh" secara politik.

Tapi adagium politik terkenal: Tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi, membuktikan kebenarannya. Kalau kepentingan sama, mengapa tidak bersama-sama? Contoh mudah adalah langkah Jusuf Kalla yang selama lima tahun terakhir menjadi kawan seiring sejalan dengan SBY kemungkinan besar akan menjadi lawan politik dalam pemilihan presiden mendatang.

Konstelasi politik terkini itu tentu kian menggairahkan. Jika ketiga partai besar itu berkoalisi, sungguh merupakan suatu kekuatan politik yang besar dan sulit ditandingi. Logika politik berkata seharusnya partai reformis atau partai yang didirikan di era reformasi berada di kubu satu lagi sebagai pembanding.

Untuk melawan kekuatan besar ini memang diperlukan persatuan partai-partai menengah dan kecil. Ini mengingatkan kembali pada Pemilu 2004 saat berhadapan Koalisi Kebangsaan dengan Koalisi Kerakyatan. Melihat figur-figur yang akan maju sebagai calon presiden, sepertinya kubu-kubu itu tidak akan berbeda. Tinggal kita yang kebingungan menonton perkembangan politik di tingkat elite itu. Rakyat tak pernah dilibatkan, bahkan dipikirkan, saat deal-deal politik itu terjadi. Tujuan politik hanya meraih kekuasaan, setelah itu memantapkan kekuasaan, dan mewariskan kekuasaan. Kesejahteraan rakyat di urutan nomor kesekian. Itu pun kalau sempat dipikirkan. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 21 Maret 2009.

No comments: