Monday, August 23, 2010

Politik Dinasti

KEMENANGAN yang sudah dalam genggaman tangan Anna Sophanah dan pasangannya, Supendi, pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Indramayu, mempertegas berlangsungnya politik dinasti di bumi Wiralodra itu.
-----------
Anna, yang juga istri Bupati Indramayu, Irianto MS Syafiuddin atau Yance, akan meneruskan jejak langkah sang suami, membangun Indramayu.
-----------
Di wilayah Jawa Barat, mungkin ini yang pertama kali terjadi, seorang istri bupati melanjutkan kepemimpinan suaminya. Sebelumnya di Bantul, Yogyakarta, Ida menggantikan posisi Idham Samawi, suaminya sebagai Bupati Bantul. Hal serupa terjadi pula hal di Kendal dan Kediri. Sementara di salah satu kabupaten di Papua, seorang istri bupati ternyata menjadi ketua DPRD setempat.

Jika melihat kecenderungan orang yang ingin terus merasakan nikmatnya kursi kekuasaan, model "pewarisan" kekuasaan seperti ini akan semakin marak. Tanda-tanda semacam itu sudah terlihat sejak pemilihan umum 2009, ketika anak, istri, menantu, dan kerabat lainnya dari penguasa, baik di pusat maupun daerah, baik eksekutif maupun legislatif, beramai-ramai menjadi anggota legislatif.

Sejatinya, tidak ada yang salah dengan politik dinasti. Kita mengenal betul nama klan-klan pemimpin terkemuka di dunia. Di AS ada klan Kennedy, di India ada Gandhi, di Filipina ada klan Aquino. Indonesia pun punya trah Soekarno. Darah biru kepemimpinan di keluarga- keluarga itu terus mengalir hingga beberapa generasi.

Namun patut dicermati, politik dinasti akan menjadi sebuah pisau berdarah sejarah apabila mereka mencederai nilai-nilai demokrasi dan tidak fair dalam proses berdemokrasi. Benar belaka bahwa siapa pun berhak untuk dipilih dan memilih, termasuk keluarga penguasa. Tapi apabila rotasi kepemimpinan hanya berputar di tingkat elite, hal itu jelas menutup peluang munculnya orang-orang terbaik di tengah masyarakat yang memiliki kompetensi kepemimpinan.

Selain itu, kecenderungan munculnya nepotisme sangat besar. Sangat sulit berlaku objektif apabila yang berkuasa adalah keluarga sendiri. Padahal kita mafhum, nepotisme dan kroni- kroninya adalah musuh bersama reformasi di negeri ini yang digulirkan para mahasiswa dua belas tahun lalu.

Tentu berbeda halnya apabila politik dinasti didasarkan pada kapabilitas. Berdarah biru, berpendidikan tinggi, memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni, dan mempunyai kapabilitas untuk memajukan demokrasi, tentu akan lebih menyempurnakan prasyarat seorang pemimpin.

Apa yang diungkapkan Presiden SBY saat menanggapi isu perpanjangan masa jabatan dan mengatakan mendukung munculnya kepemimpinan baru, yang bukan dari klan atau keluarganya, sangat relevan dengan kondisi riil politik di masyarakat saat ini. Dan salah satu cara untuk memotong kemunculan feodalisme gaya baru itu adalah dengan meningkatkan taraf pendidikan rakyat, sekaligus memperkuat pendidikan politik kepada rakyat.

Bagaimanapun, rakyatlah yang menentukan sepenuhnya siapa yang akan menjadi pemimpin mereka. Dengan bekal pendidikan politik, rakyat bisa lebih rasional dalam memutuskan pilihannya sehingga kehidupan demokrasi di negeri ini pun akan lebih berkembang dan matang. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 20 Agustus 2010.

No comments: