Monday, January 04, 2010

Sederhana Seperti Agus Salim


LELAKI berjanggut itu berdiri di antara para diplomat dari Eropa. Kehadirannya sangat mudah dibedakan. Selain karena ukuran tubuhnya yang lebih pendek, dandanannya pun jauh dari penampilan mewah seperti pejabat.

Dia memakai jas yang bolong dengan beberapa jahitan di sana sini. Tapi lelaki berkacamata bundar itu sangat dihormati. Pidatonya membuat semua terkesima. Kata-katanya begitu fasih dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, ataupun Jerman.
Dialah H Agus Salim, Menteri Luar Negeri di masa perang kemerdekaan 1946-1950.

Sosok cerdas cendekia, juga ulama, yang pernah hadir dalam peta sejarah negeri ini. Yang paling penting, Agus Salim adalah sosok teladan bagi bangsa ini. Kesederhanaannya tidak mengurangi kebesaran namanya dan kewibawaannya. The Grand Old Man, Orang Tua Besar, begitu ia kerap digelari. Sebutan yang juga sering diucapkan Soekarno, karena keluasan ilmu, kecerdasan, dan kesederhanaan Agus Salim.


Walau begitu, dia tetap sosok sederhana. Bersama dengan keluarga, istri dan anak-anak yang dididiknya sendiri, selama periode perjuangan Haji Agus Salim tidak jarang menjalani kehidupan yang melarat dan menderita. Beliau sering berpindah rumah.

Banyak kenangan yang menampakkan betapa Haji Agus Salim dan keluarga harus menjalani situasi kemelaratan dan penderitaan. Di Gang Listrik misalnya, justru di gang ini mereka hidup tanpa listrik, karena ketiadaan uang untuk jaminan membayar listrik mereka.

Padahal beliau adalah petinggi negeri ini, pejuang yang sepatutnya mendapat penghormatan dan penghargaan tinggi dari pemerintah dan rakyat. Adakah keteladanan sejarah dari Agus Salim itu bergema sampai zaman sekarang?

Adakah menteri-menteri kabinet sekarang yang berprilaku sederhana seperti Agus Salim? Menolak mendapat tunggangan mobil Toyota Royal Crown New Saloon yang konon harganya mencapai Rp 1,3 miliar per unit itu, misalnya?

Yang terjadi, mereka begitu menikmati tunggangan barunya. "Sunyi senyap," begitu kata seorang menteri saat dimintai tanggapannya tentang mobil baru itu. Atau "Ah, lebih sempit dari mobil lama," kata menteri yang lain. Namun semua berkata sama: inventaris mobil ini hal yang wajar untuk menunjang kinerja menteri.

Kewajaran menurut mereka adalah ketidakwajaran bagi rakyat negeri ini. Tidakkah mereka ingat bahwa untuk membeli kendaraan mewah itu rakyat harus memeras keringat dan tak sekalipun rakyat menyentuh mobil itu?

Di Bandung pun, para camat bakal merasakan mulusnya Toyota Innova. Lalu Asisten Daerah akan menunggang sedan Vios. Itu pun masih menggerutu karena menilai sedan jenis itu sekelas dengan taksi. Sungguh luar biasa sikap para pemimpin kita ini. Sense of crisis sudah menghilang dari nurani mereka. Jangan harap ada pejabat di negeri yang berani menolak pemberian fasilitas dari negara.

Sungguh, kita merindukan sosok pemimpin sederhana seperti H Agus Salim. Kita memimpikan pemimpin yang istananya dibangun dari lumpur, para penjaganya adalah kaum duafa, fakir miskin, anak yatim dan telantar serta para janda, dan pakaian kebesarannya adalah malu dan takwa. Malu, mereka hidup di tengah kemelaratan korban gempa dan banjir. Malu, bahwa di kiri kanan mereka anak-anak jalanan dan yatim piatu tak mendapat hidup yang layak. Masih adakah teladan di negeri ini?.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 30 Desember 2009.

No comments: