Thursday, September 24, 2009

Arus Kebangkitan


IDULFITRI telah menggerakkan jutaan orang untuk kembali menuju tempat asal mereka. Tak mengenal jarak dan waktu, semua orang yang merasakan panggilan kampung halaman akan berjuang agar bisa menginjakkan kaki di tanah kelahiran saat hari raya.

Gerak pulang, yang biasa disebut mudik ini sama dengan gerak migrasi ikan Salmon. Dari lautan Pasifik yang begitu luas, ikan yang kaya akan protein ini kembali menyusuri ombak, menentang arus, menuju ke hulu, menuju ke tempat kelahiran mereka di hulu Sungai Amazon, benua Amerika. Atau dari laut Atlantik Utara, ikan pengembara dunia itu menuju ke hulu sungai tempat kelahiran. Dan tak satupun yang salah tempat.
Seusai bertelur di hulu, mereka akan akan kembali mengarungi lautan luas, kembali menantang ombak, hingga akhirnya mati.

Kekuatan silaturahmi dan keterkaitan dengan tanah air, itulah yang menjadi pendorong utama terjadinya gerak ini. Para pemudik pun memiliki kekuatan yang luar biasa untuk mencapai tempat asal mereka. Bersama dengan gerak pemudik ini, mengalir pula kekuatan ekonomi dari kota ke desa, dari kota besar ke kota kecil, dari hilir ke hulu. Berapa banyak uang yang dibawa para pemudik ini? Konon nilainya sampai puluhan triliun rupiah lebih. Dan uang itulah yang menggeliatkan ekonomi di pedesaan.

Di hulu semua berawal. Dari hulu pula semua kekuatan itu bermula. Bayangkan, semua aktivitas manusia ini berasal dari ketiadaan, dari nol besar. Ketika mereka bertekad mengubah kehidupan dengan mendatangi kota besar atau hilir, itulah yang menjadi awal perubahan. Semangat yang dibawa dari hulu adalah semangat perubahan, penuh mimpi-mimpi, yang menjadi bekal kaum urban menyabung hidup di perantauan.

Idulfitri ini pula yang seharusnya menjadi momen kebangkitan para korban gempa bumi Tasikmalaya dan juga korban musibah bencana alam lainnya. Dari balik puing dan reruntuhan rumah, mereka harus merencanakan dan menata kembali masa depannya.

Bantuan yang disampaikan pemerintah ataupun dermawan lainnya tidak akan berdaya apabila tanpa dibarengi semangat perubahan ini. Semua bantuan itu tak ada artinya jika mereka berdiam diri. Dengan bantuan yang ada, para korban gempa ini harus kreatif untuk mengembangkan diri, tak hanya sekadar memenuhi kebutuhan sehar-hari, tapi kebutuhan masa depan. Puing rumah itu jangan menjadi beban yang menghalangi langkah untuk maju.

Hari-hari ini, gerak arus balik para pemudik akan bergelombang menuju kota-kota
besar, seperti halnya Salmon yang kembali mengikuti arus besar menuju lautan luas. Arus balik yang membawa serta impian dan kekuatan dari hulu lainnya.

Berbekal semangat silaturahmi, semangat Idulfitri ini, mari kita bangkit kembali dari keterpurukan, ketidakberdayaan, kemiskinan, kebodohan, dan kekikiran. Dengan semangat bumi kelahiran yang kini sudah meresap ke seluruh raga, kita, kaum urban akan bertarung lebih keras lagi untuk kehidupan yang lebih baik.(*)

Friday, September 11, 2009

Mengebiri Kreativitas

SEBUAH karangan bunga ditaruh di depan pelataran ruang sidang paripurna DPR RI, Senayan Jakarta. Karangan bunga itu sebagai tanda dukacita untuk perfilman Indonesia. Yang memasang karangan bunga itu bukan orang sembarangan. Mereka, para moviemaker, pembuat dan penggiat film jempolan di negeri ini. Sebut saja nama Riri Reza, Mira Lesmana, Nia di Nata, Slamet Rahardjo, dan lain-lain.

Kumpulan sineas ini menolak pengesahan Undang-Undang Perfilman. Bagi mereka, pasal-pasal di dalam UU ini mematikan perfilman Indonesia. Mereka seperti ditelikung dan dikontrol oleh pemerintah.

Contoh pasal yang membelenggu itu adalah Pasal 18. Pasal itu mengatur soal pembuatan film yang harus mengajukan pendaftaran kepada menteri disertai judul, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Berikutnya, pasal yang paling ditolak sejumlah penggiat film adalah Pasal 49. Pasal ini berisi ketentuan insan perfilman berkewajiban memenuhi standar kompetensi dan memiliki sertifikat profesi dalam bidang perfilman. Lebih jauh, Pasal 68 mengatur lagi, standar kompetensi dilakukan melalui sertifikasi kompetensi.

Coba kita bayangkan jika seorang Riri Reza hendak memfilmkan novel keempat Andrea Hirata, Maryamah Karpov, misalnya. Sebelum memulai kegiatan filmnya, Riri harus memiliki sertifikasi kompetensi. Ia, paling tidak, akan diuji oleh tim yang terdiri atas pakar untuk menentukan kompeten tidaknya seorang Riri menjadi sutradara film.

Lolos dari uji kompetensi yang mungkin meniru sertifikasi guru itu, Riri harus menyiapkan proposal pembuatan film sekaligus meminta izin kepada menteri.
Sungguh panjang jalan yang harus ditempuh untuk membuat sebuah film. Mungkin bagi seorang Riri Reza, sebutlah birokrasi itu bisa ditempuh dengan mudah, tapi bagaimana dengan yang lain?

Lalu, jika kita tafsirkan lebih jauh bahwa film yang dimaksud dalam Undang-Undang Perfilman ini juga termasuk yang dinamakan film independen atau indie, film dokumenter, film pendek, film kartun, dan film-film lain di luar arus utama film layar lebar dan layar televisi, jelas undang- undang ini mengebiri kreativitas insan perfilman.

Bagaimana mungkin anak-anak SMA yang tengah bersemangat menjadi moviemaker harus berurusan panjang dengan birokrasi hanya untuk membuat film pendek tentang si Badu yang suka bolos sekolah? Atau apakah mahasiswa tingkat akhir jurusan sinematografi harus dibuat ribet dan kalang-kabut dengan surat izin dan birokrasi tetek-bengek lainnya kepada menteri hanya untuk membuat film tentang kehidupan kaum pemulung di TPA Bantargebang?

Benar belaka bahwa perfilman kita memerlukan aturan jelas. Soal pornografi, SARA, kekerasan, adalah hal yang sudah menjadi aturan tak tertulis bagi siapa pun. Bukankah ketika sinetron di televisi lebih banyak adegan tampar-menampar, caci-maki, dan tindak kekerasan lainnya, kita langsung bereaksi?

Kalaupun ada aturan, maka yang hadir adalah aturan yang tidak membelenggu dan mengebiri kreativitas, bahkan mendukung penuh kreativitas sineas-sineas film Indonesia untuk menghasilkan film yang bermutu. Film yang bermutu itu bukan film yang dikebut dalam semalam. Tentu pula bukan film dengan lakon setan pocong, wewe gombel, kuntilanak, yang menghuni jembatan, pohon, kereta api, dan rumah sakit.

Kita ingin negeri ini kaya dengan film yang memberikan pencerahan kepada rakyatnya, film yang melambungkan asa tentang negeri ini, film yang menginspirasi untuk bisa berbuat lebih baik. Film yang bisa meyakinkan bahwa negeri ini masih memiliki harkat martabat di mata dunia. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 10 September 2009.

Monday, September 07, 2009

Resensi Buku: Akar Panjang Industri Musik

Judul: Industri Musik Indonesia, Suatu Sejarah
Penulis: Muhammad Mulyadi
Cetakan: I, Agustus 2009
Penerbit: Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial
Tebal: 223 halaman
Harga: Rp 48.000

SAYA bersyukur bisa meresensi buku ini. Mengapa? Terus terang, saya sedang dilanda kemalasan yang luar biasa. Kemalasan ini dipicu akibat kelelahan kerja. Karena lelah, saya tidak ingin mengerjakan hal lain, kecuali tidur, istirahat, untuk kemudian bekerja lagi.

Produktivitas menulis saya turun drastis sejak enam bulan lalu. Itu bisa dilihat dari arsip tulisan di blog ini. Duh, ritme kerja yang berubah 100 % membuat saya ribet, karena juga harus mengubah ritme hidup. Saya jadi KALONG. Bekerja di malam hari, tidur di siang hari.

Ditengah kesenyapan aktivitas menulis, hanya tulisan Sorot yang menjadi penyambung nyawa blog ini. Itu pun karena memang sudah terjadwal untuk menulis, sehingga mau tidak mau harus ada tulisan, apapun. Dengan adanya resensi ini, setidaknya semangat saya untuk menulis mulai menggeliat lagi. Ayo Menulis Lagi!!

DOEL Sumbang, penyanyi dan pencipta lagu, ternyata pernah mendapatkan bonus sebuah Mercedes Baby 300E dari hasil penjualan album Aku Cinta Kamu yang terjual 700 ribu kaset. Atau tahukah Anda, grup rock God Bless pernah hanya dibayar Rp 50.000 untuk manggung di dalam kota Jakarta? Atau bahkan Euis Darliah, penyanyi Apanya Dong, dibayar dengan cek kosong saat manggung di Ujungpandang?

Hal-hal kecil tapi menarik itu bakal Anda temukan pada buku yang ditulis Muhammad Mulyadi ini. Booming industri musik di Indonesia saat ini ternyata memiliki akar yang panjang sejak tahun 1950-an.

Ada beberapa aspek yang mendukung perkembangan industri musik di tanah air. Media adalah salah satunya. Sejumlah penyanyi era 70-an dan 80-an banyak dibesarkan oleh RRI, TVRI, atau bahkan majalah Aktuil. Sebut saja nama Hetty Koes Endang dan Andy Meriem Matalatta.

Aspek lainnya adalah teknologi yang terkait dengan panggung dan peralatan band serta fasilitas rekaman. Kondisi saat itu sungguh jauh berbeda dengan sekarang. Studio musik bisa dihitung dengan jari. Grup band pun tak semuanya punya peralatan. Mereka harus antre dan meminjam alat band hanya untuk latihan musik.

Buku ini merupakan tesis Mulyadi di program pascasarjana Universitas Indonesia. Tak heran, hampir di setiap halaman buku ini terdapat catatan kaki.
Bagi sebagian pembaca, kadang-kadang keberadaan catatan kaki ini mengganggu. Apalagi jika catatan kaki menyita hampir setengah halaman buku, seperti di halaman 4, 104, dan 131. Tapi bagi sebagian pembaca lainnya, catatan kaki membantu memperjelas sumber yang dikutip. Bagi Mulyadi, tentu catatan kaki ini sebagai pertanggungjawaban secara ilmiah dalam mengutip sumber.
Buku ini pun relatif bersih dari kesalahan penulisan atau pengetikan. Hanya ada beberapa saja, seperti penulisan kata penunjukan yang ditulis "penunjukkan" (halaman 96). Kemudian penggunaan kata tidak baku "pagelaran" yang seharusnya "pergelaran" sebagai kata ganti dari pementasan dan pertunjukan (halaman 89).
Sayang, Andrea Hirata, penulis buku laris Laskar Pelangi, sebagai penggemar berat Rhoma Irama, tampaknya harus gigit jari bila membaca buku ini. Buku ini tak menyentil sedikit pun soal industri musik dangdut dan melayu. Padahal di era 70-an, Bang Haji Rhoma dengan Soneta Grupnya begitu fenomenal mengguncang industri musik Indonesia.
Mulyadi beralasan, untuk menuliskan musik dangdut diperlukan studi khusus. Karena dangdut tidak berakar dari musik Barat, mempunyai keunikan tersendiri, dan cakupannya luas sehingga hanya industri musik rock, pop, dan jazz, yang menjadi fokus penulisan buku ini.
Meski begitu, buku ini tetap layak dibaca dan bakal menambah wawasan para penyuka musik di tanah air. Setidaknya buku ini menawarkan pendekatan sejarah sehingga begitu gamblang menggambarkan aspek-aspek yang terlibat dalam sebuah industri musik. (mac)
Dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Minggu 6 September 2009.

Grey Market atau Black Market

DI dunia ini ada sekitar 683 juta senjata ringan yang dimiliki negara dan perorangan secara legal. Itu data resmi yang dikeluarkan Amnesti Internasional tahun lalu. Di luar itu, bertebaran senjata ilegal yang entah berapa banyak jumlahnya.

Di Afrika, sangat mudah mendapatkan senjata secara ilegal. Cukup dengan sekantung jagung kita bisa menukarnya dengan senjata kecil ini. Atau di negeri penuh konflik, Afghanistan. Sebuah AK-47 harganya 10 dolar atau sekitar Rp 100.000.

Indonesia memiliki PT Pindad, industri strategis penghasil senjata dan alat militer lainnya. Beragam jenis senjata sudah berhasil diproduksi Pindad. Sebut saja senapan serbu SS1 dengan bermacam variannya, lalu pistol serbu PS-01, pelontar granat dan tak ketinggalan mesin perang, panser.

Kebanyakan senjata buatan Pindad dipakai sebagai senjata organik TNI dan Polri. Namun tak sedikit negeri-negeri di seberang lautan yang kepincut dengan kehandalan senjata buatan Indonesia ini. Tahun lalu Pindad mengekspor SS1 ke Nigeria.

Kini urusan ekspor senjata itu menjadi masalah di negeri Gloria Macapagal Arroyo, Filipina. Petugas pabean dan kepolisian negeri itu menahan 100 pucuk SS1-V1 dan 10 pucuk pistol PS. Mereka menduga senjata-senjata itu ilegal dan hendak diselundupkan ke negeri yang tak mampu menyelesaikan konflik abadinya di Moro.

Pindad menyatakan ekspor senjata itu resmi, bukan ilegal. Pemerintah Mali yang memesan SS1 dan Filipina pesan pistol. Prosedur dan dokumen ekspor pun sudah lengkap, sehingga tak perlu ada yang dirisaukan dengan status senjata itu.

Namun bukan mustahil, senjata yang resmi ini menjadi ilegal. Kita harus mengingat definisi perdagangan senjata ilegal dikeluarkan Komisi Pelucutan Senjata PBB sebagai perdagangan yang melanggar hukum nasional ataupun hukum internasional (illegal). Definisi ini memunculkan kemungkinan dua jenis pasar senjata ilegal, yakni "Grey Market dan Black Market".

Grey Market merujuk pada situasi dimana perdagangan terjadi dengan sepengetahuan pemerintahan nasional, walaupun mengkin melanggar aturan internasional. Sementara Black Market adalah perdagangan yang terjadi yang sepenuhnya di luar kontrol pemerintahan nasional.

Apabila pemerintah Filipina menyatakan senjata-senjata itu memang tidak memiliki surat dokumen resmi, berarti bisa tergolong pada grey market alias pasar abu-abu. Keluar dari Indonesia secara resmi, tapi dibelokkan di tengah jalan hingga menjadi ilegal.

Terlebih, kabarnya kapal pengangkut senjata ini sempat mampir di pulau sekitar Bataan Fililpna an di sana terjadi pemindahan senjata api jenis SS1 yang hendak dikirim ke Mali ke kapal yang mengirim pistol ke Filipina.

Tentu ini harus diselidiki secara cermat oleh Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan. Jangan sampai senjata-senjata buatan negeri kita, jatuh ke tangan kelompok- kelompok separatis dan berbahaya. Kita, rakyat pemilik sah negeri ini, tak akan pernah rela jika senjata-senjata itu digunakan kaum teroris yang jelas-jelas menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 1 September 2009.