Friday, November 13, 2009

Kaki Gajah

ENTIN, warga Cipaku, Paseh, Kabupaten Bandung, tak menduga badannya akan sulit digerakkan setelah meminum obat Filariasis. Selain itu, ia pun menderita pusing, mual, dan muntah-muntah.

Namun Entin masih beruntung. Efek dari obat itu tak berkepanjangan. Berbeda dengan beberapa warga lainnya yang diketahui meninggal seusai mengonsumsi obat keras ini. Memang obat itu bukan penyebab langsung kematian. Rata-rata warga yang meninggal memiliki riwayat penyakit lain, seperti asma, diabetes, darah tinggi, dan jantung.

Kaki Gajah, nama penyakit ini mendadak menjadi terkenal setelah ratusan warga Kabupaten Bandung mengikuti pengobatan massal menderta mual, pusing, dan kejang-kejang. Pengobatan massal yang dicanangkan Departemen Kesehatan ini digelar Kabupaten Bandung termasuk daerah endemik penyakit Kaki Gajah.

Nama sebenarnya penyakit ini adalah Filariasis Limfatik, penyakit menular yang disebabkan oleh tiga jenis cacing parasit, Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia Timori. Semuanya itu ditularkan lewat nyamuk.

Gejala paling nyata dari penyakit ini adalah elephantiasis, yaitu penebalan kulit dan jaringan di bawahnya, sehingga bagian tubuh, terutama kaki, bengkak membesar seperti kaki gajah. Dari sinilah muncul nama Kaki Gajah.

Di Indonesia, terdapat 11.699 orang penderita kaki gajah. Tersebar di 386 kota/kabupaten. Dan 125 juta pendudukan Indonesia tinggal di wilayah endemis dan berisiko tertular penyakit Kaki Gajah ini. Di Jabar sendiri, ada 980 orang yang positif terserang penyakit ini. Di Kabupaten Bandung, 31 orang yang positif kena Kaki Gajah ini. Lalu 15 kecamatan menjadi daerah endemis.

Depkes memberikan obat Dietyl Carbamazine Citrate (DEC) dan Abendazol sebagai pencegah penyakit Kaki Gajah ini. Untuk mencegah reaksi pengobatan diberikan Paracetamol.

Obat ini memang tergolong obat keras. Ada efek samping yang diderita peminum obat, di antaranya mual, pusing, kejang-kejang, dan demam. Tak heran, bagi penderita sejumlah penyakit dalam, seperti jantung, asma, darah tinggi, diabetes, obat ini betul-betul terlarang untuk diminum. Karena sangat mungkin berpengaruh terhadap penyakit bawaan, dan bisa menimbulkan kematian.

Inilah yang sesungguhnya harus menjadi titik poin dari sosialisasi yang dilakukan dinas kesehatan setempat. Kalau sosialisasi berjalan optimal, seluruh lapisan masyarakat mengetahui kegunaan, efek samping, bagaimana obat ini bekerja, serta larangan bagi penderita penyakit tertentu, tentu tidak akan terjadi kehebohan seperti sekarang ini.

Yang terjadi di lapangan, masyarakat banyak yang tidak mengetahui efek samping obat DEC ini. Sosialisasi hanya dilakukan seperlunya. Tidak massal, seperti nama kegiatannya.

Beberapa tahun lalu, hasil penelitian pakar dari Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang dibiayai Uni Eropa menunjukkan obat Doxycycline menimbulkan efek yang paling ringan dibanding obat-obat jenis lain, seperti obat DEC.

Namun karena Depkes lebih memilih anjuran WHO untuk melakukan pengobatan secara massal, obat yang dipakai adalah DEC. Karena lebih mudah, satu butir satu tahun selama lima tahun pengobatan.

Bagaimanapun, kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi aparat di bidang kesehatan. Sosialiasi merupakan bagian vital dari terbangunnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 13 November 2009.

2 comments:

Wisata Pekanbaru Riau said...

banar tu mas...
pemerintah harus gencar untuk sisialisasi

bisnis online said...

yah mengerti dan faham itu memang mahal harganya dan di butuhkan kerja keras juga untuk mencapainya dalam hal ini pemerintah harus nya bertanggung jawab thanks