Wednesday, June 24, 2015

Dana Aspirasi

INI usulan terbaru yang tengah digodok DPR RI, dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar. Untuk seluruh anggota dewan? Bukan. Jumlah Rp 20 miliar itu untuk seorang anggota DPR RI setiap tahun. Kalikan saja dengan jumlah anggota DPR RI untuk mengetahui jumlah total anggaran yang dibutuhkan dikalikan empat atau tiga tahun masa jabatan karena baru diusulkan untuk masuk APBD 2016. Kira-kira jumlah totalnya mencapai Rp 11,2  triliun.

Teorinya, dana aspirasi ini berbeda dengan dana reses. Dana reses dicairkan langsung oleh anggota DPR bersangkutan untuk menyerap aspirasi masyarakat saat reses di daerah pemilihannya. Bentuk dana reses itu semacam hibah atau bantuan sosial. Sedangkan dana aspirasi, sama sekali tidak dipegang oleh anggota DPR. Dana itu diserahkan ke pemerintahan daerah setelah anggota dewan mengusulkan pembangunan suatu wilayah berikut usulan anggarannya kepada pemerintah.


Kabarnya sebagian besar anggota DPR setuju dengan kehadiran dana aspirasi ini. Tentu lah, siapa pula yang menolak yang namanya anggaran miliaran rupiah, walaupun itu tidak ada di tangan.

Sekilas memang tidak ada yang keliru dengan rencana dana aspirasi ini. Benarkah demikian? Coba kita amati alasan peningkatan dana aspirasi antara Rp 15 miliar hingga Rp 20 miliar ini. Anggota dewan berkilah bahwa dana aspirasi ini untuk memeratakan pembangunan. Ketika mereka berkunjung ke daerah dan menemukan wilayah yang belum terbangun, mereka bisa meminta pencairan dana aspirasi itu ke daerah tersebut.

Kalau itu terjadi, bisa dibayangkan betapa proyek pembangunan akan menumpuk di Pulau Jawa, sementara wilayah Indonesia Timur kering pembangunan. Mengapa begitu? Karena jumlah anggota DPR RI dari daerah pemilihan di Pulau Jawa lebih banyak ketimbang dari pulau-pulau lain. Mereka tentu akan beramai-ramai mengusulkan pembangunan di daerah pemilihannya dan anggarannya sudah tersedia, tinggal dikucurkan saja oleh pemerintah daerah. Hasilnya? Ya, pembangunan makin terpusat di Jawa.

Yang lebih penting lagi, dengan anggaran Rp 20 miliar per tahun ini, dipastikan anggota DPR RI tak perlu susah payah lagi berkampanye saat musim pemilu tiba. Dengan mengklaim bahwa proyek pembangunan A, B, C adalah hasil perjuangannya saja, sudah cukup membuat masyarakat tergiring untuk memilih mereka kembali.

Jangan bicarakan pula soal perasaan rakyat yang saat ini hidup terjepit di tengah kenaikan segala macam harga kebutuhan pokok. Tahun depan kita belum tahu kondisi ekonomi negeri ini akan membaikkah atau memburuk. Kalau pun ekonomi membaik, besaran anggaran Rp 20 miliar itu untuk "membiayai" proyek yang diinginkan anggota DPR RI terlalu wah.

Di sisi lain, pasti terjadi tumpang tindih proyek pembangunan di suatu daerah pemilihan. Karena tentu saja pemerintah daerah pun tidak akan tinggal diam melihat suatu daerah tertinggal. Di sinilah, ditekankan prioritas pembangunan, mana daerah yang lebih dulu harus dibangun, mana yang bisa ditunda.

Kita lebih sepakat agar anggota DPR RI memaksimalkan dana tunjangan reses sebesar Rp 1,7 miliar untuk menyerap aspirasi dari masyarakat. Lalu menyampaikannya kepada pemerintah agar bisa masuk dalam program atau proyek pembangunan. Fungsi pengawasan anggota dewan pun akan berjalan. Kalau mereka turut terlibat dalam urusan proyek, siapa pula yang akan mengawasi proyek itu? (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 11 Juni 2015.