Thursday, October 14, 2010

Serba Instan

PENGHUNI negeri ini memang paling menyukai hal yang instan, serba cepat. Cepat mendapatkannya dan cepat melupakannya. Menjadi artis atau idol pun bisa instan, tinggal ikut ajang adu bakat di televisi, maka jadilah artis baru. Membuat kartu penduduk pun bisa instan, cepat, dan murah. Saking instannya, seorang buron teroris yang dikejar-kejar Densus 88 pun bisa punya kartu tanda penduduk resmi sampai di dua tempat.

Begitu pula soal makanan, orang sini semuanya ingin serba cepat. Cepat tersaji, cepat bayar, cepat makan, dan cepat pulang. Padahal makanan yang cepat saji itu belum tentu sehat. Di negeri asalnya, negeri Paman Sam, makanan cepat saji dibilang makanan sampah. Makanan yang hanya cocok buat perut karung, tak bergizi, dan membawa cikal bakal penyakit.

Larangan mi instan asli buatan Nusantara di negara sempalan Cina, Taiwan, membuat heboh para penggemar mi instan. Bayangkan saja, dalam setahun ada 14 miliar bungkus mi yang dikonsumsi rakyat Indonesia. Jika di dalamnya ternyata mengandung zat pengawet berbahaya, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan masyarakat ini, terutama masyarakat kalangan bawah. Sudah tertindas secara ekonomi, ternyata isi perut pun harus tertindas.

Keberadaan mi instan ini memang sejalan dengan pergerakan orang yang kian cepat, seperti dikejar-kejar penagih utang. Tak ada lagi waktu makan yang santai. Tak ada waktu pula memasak masakan secara komplet. Akhirnya mi instan yang supercepat menjadi sahabat terbaik para pekerja malam, ibu-ibu yang malas memasak, pelajar dan mahasiswa yang tinggal jauh dari orang tua.

Menurut penelitian badan yang berwenang mengawasi dan meneliti makanan, mi instan aman dikonsumsi. Tentu ini melegakan kita semua. Artinya, miliaran mi yang masuk ke perut rakyat Indonesia tidak akan jadi persoalan kesehatan.

Itu kalau mi instan dikonsumsi sebatas makanan penyelang. Tapi bagaimana jika mi dari bahan gandum itu terus dikonsumsi setiap hari dan menjadi makanan utama rakyat miskin? Bukankah dalam mi itu pun terkandung pula bahan-bahan kimia, termasuk bahan pengawet kosmetik yang dosisnya terbatas? Sekali lagi, terbatas jika yang dikonsumsi hanya satu bungkus. Banyak cerita, orang-orang terkapar di rumah sakit gara-gara kesehatan ngedrop akibat doyan mi instan.

Tapi percayalah, orang-orang Indonesia sudah kebal dengan segala kesulitan. Instan dalam pemikiran awam adalah siap berjuang keras, berkelahi melawan waktu, mempertahankan hidup, serta menjaga martabat diri dan keluarga. Instan adalah energi bagi sebagian besar rakyat Nusantara, khususnya yang hidup di kolong jembatan, besar di jalanan.

Kita tinggal menunggu cerita instan terkini, soal sekelompok orang yang ingin mengganti pemerintahan yang sah pada 20 Oktober mendatang. Mereka berniat menggulingkan SBY dan pemerintahannya. Kemudian mengganti dengan pemerintahan yang lebih bersih. Siapa yang akan jadi pemimpinnya kalau "kudeta" itu berhasil? Ya, instan juga. Bagaimana nanti saja, toh "kudetanya" juga belum tentu sukses. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar

No comments: