Tuesday, August 04, 2009

Robohnya Kelas Kami

RATIH Kusumahdewi tak menyangka langit-langit di kelasnya bisa ambruk. Soalnya, plafon itu terbilang baru direnovasi. Tak heran, ia begitu terkejut dan panik ketika langit-langit itu ambruk secara tiba-tiba. Beruntung siswi kelas IV SDN Kramat III Kota Cirebon itu tidak tertimpa runtuhan plafon. Sementara beberapa rekannya yang tak sempat menghindar terluka di bagian kepala.

Terpisah ratusan kilometer, di Garut, pada waktu yang hampir bersamaan, dinding kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI) An Nuur Cinagara, Malangbong, juga tiba-tiba roboh. Anak-anak yang sedang tekun belajar spontan lari lintang-pukang ke luar kelas, menghindari runtuhan dinding. Begitu kepulan debu yang ditimbulkan runtuhan dinding menghilang, mereka tertegun menyaksikan ruang kelas mereka bolong tak berdinding lagi.

Ini bukan isu, ataupun informasi intelijen. Ini kejadian nyata di dunia pendidikan kita. Dan sebetulnya bukan hal yang aneh karena sudah terlalu sering terjadi peristiwa serupa. Saking seringnya, kita sudah tidak ingat lagi berapa banyak kasus bangunan sekolah roboh. Yang paling mutakhir di Kota Bandung adalah bangunan SD Sejahtera IV yang roboh, hanya beberapa minggu setelah selesai pembangunan.
Bukan tidak ada upaya pemerintah untuk membereskan persoalan kerusakan bangunan sekolah ini. Anggaran 20 persen pendidikan di dalam APBN 2009 merupakan salah satu bagian dari upaya itu.

Begitu pula di daerah, pemerintah setempat pun bergerak. Awal tahun ini saja, Pemprov Jabar mengucurkan dana role sharing terakhir untuk perbaikan dan pembangunan ribuan kelas. Dana itu berasal dari APBD murni dan perubahan 2008 sebesar Rp 491,89 miliar.

Bahkan, Depdiknas dengan optimistisnya menyatakan tahun ini tidak akan terjadi lagi bangunan SD rusak. Karena Departemen telah mengucurkan dana Rp 9,07 triliun untuk rehabilitasi dan renovasi ratusan ribu ruang kelas dan sekolah rusak di tingkat SD, Madrasah Ibtidaiyah, dan SD luar biasa.

Sayangnya, optimisme itu belum dibarengi operasional di lapangan. Renovasi berjalan lambat dan tidak menjangkau seluruh sekolah yang harus diperbaiki.
Kita tetap berharap, pemerintah memperbaiki secepatnya kekurangan-kekurangan dunia pendidikan kita. Setidaknya, kelengkapan sarana dan fasilitas pendidikan bisa menunjang kenyamanan belajar siswa sehingga tak muncul anekdot "Robohnya Kelas Kami", sebagai sindiran terhadap bobroknya kualitas bangunan sekolah di Indonesia.

Di tengah suara muram dunia pendidikan itu, berembus angin segar yang melenakan jiwa kita. Dari kaki Gunung Syawal, bertiup cerita tentang sebuah SMP yang mampu membiayai sendiri tanpa bantuan pemerintah. SMP itu hanya berbekal sumbangan dari mereka yang peduli pendidikan. Siswa-siswi di SMP Plus Bina Pandu Mandiri, begitu nama SMP ini, tak perlu khawatir ditagih iuran bulanan atau uang buku. Semua serba gratis, bahkan siswa pun mendapat makanan siang gratis pula.

Keikutsertaan masyarakat secara swadaya dalam pendidikan model seperti ini yang harus terus dipupuk. Agar mereka, para siswa yang tak mampu secara ekonomi, bisa tetap menikmati pendidikan yang kualitasnya tak kalah dari sekolah berbayar. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 31 Juli 2009.