Saturday, February 05, 2011

Gejolak Mesir

KONDISI Mesir kian bergejolak dan makin mengancam stabilitas keamanan di wilayah Afrika Utara dan Timur Tengah. Bagaimanapun, Mesir adalah negeri terbesar di belahan dunia Arab, selalu didaulat sebagai pemimpin negara kawasan ini. Jika negeri Cleopatra ini terguncang, negara-negara lain pun turut terpengaruh, tak terkecuali Israel dan Amerika Serikat.

Karisma Husni Mubarak yang 30 tahun menduduki kursi kepresidenan tanpa pesaing membuatnya disegani negara-negara lain. Sampai-sampai, perdamaian di Palestina tidak akan terjadi tanpa campur tangan Mesir.

Namun masa pemerintahan yang lama membuat rakyat terjebak dalam hegemoni Mubarak. Tak ada yang lain kecuali Mubarak. Dan percikan wangi harum Revolusi Melati di Tunisialah yang membangkitkan kesadaran kaum intelektual Mesir untuk berbuat serupa. Kekuatan people power kembali membuktikan tuahnya. Rakyat Tunisia berhasil memaksa mundur Ben Ali yang juga puluhan tahun jadi presiden. Mereka pun menolak pembentukan pemerintahan baru yang masih diisi anasir-anasir lama, konco Ben Ali.

Harapan itu pula yang digenggam para demonstran antipemerintahan Husni Mubarak. Mereka ingin menjungkalkan despot yang telah puluhan tahun bersemayam dalam benak mereka. Harum Revolusi Melati telah menggugah memori bawah sadar mereka, bahwa selama ini mereka berada di bawah telapak kaki seorang diktator berwajah bayi.

Tentu tiupan angin kebebasan dari Tunisia itu hanyalah faktor eksternal yang memicu percepatan revolusi di Mesir. Justru faktor-faktor internal Mesir sendiri yang sebenarnya bagai bara di dalam sekam. Terlihat tenang di permukaan, tapi menyimpan api di bagian dalam. Pengangguran merebak di mana-mana, perekonomian tak begitu baik, kondisi sosial yang mulai semrawut, serta hegemoni Partai Nasional Demokratik yang dipimpin Husni dengan Sekjen anaknya sendiri, Gamal, yang membuat sebagian besar rakyat jenuh, bahkan muak, dengan kehidupan yang tak pernah berubah itu.

Persoalan yang muncul kemudian, sejuta orang antipemerintah Husni Mubarak yang berkumpul di Lapangan Tahrir belum mampu menjungkalkan Mubarak dalam waktu cepat. Alih-alih lengser, Husni Mubarak dalam pidatonya yang berapi-api justru menolak mundur hingga pemilu pada September mendatang. Hanya ia berjanji tidak akan mencalonkan diri lagi menjadi presiden.

Yang terjadi selanjutnya adalah bentrokan antara massa antipemerintah Mubarak dengan massa pro-Mubarak yang didukung militer. Inilah sesungguhnya yang dikhawatirkan; Mesir bakal terjebak dalam perang saudara tak berkesudahan.
Kalau itu yang terjadi, kita tak bisa membayangkan bagaimana wajah negeri seribu menara ini. Akankah seperti Irak saat awal-awal Saddam Husein digulingkan Amerika? Dalam kondisi seperti itu, memang wajar jika Pemerintah Indonesia segera mengevakuasi warga negara Indonesia dari Mesir. Bagaimanapun keselamatan jiwa adalah yang paling utama diprioritaskan.

Indonesia dan Mesir punya keterkaitan sejarah dan hubungan yang kuat. Mesir lah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Presiden pertama RI, Soekarno, bersahabat akrab dengan Presiden kedua Mesir, Gamal Abdul Naseer.
Dan Mesir dengan Universitas Al Azharnya, juga Ain Syams, dan Iskandariyah, menjadi impian para santri dan mahasiswa Indonesia yang bergairah melanjutkan pendidikan di bidang ilmu agama. Jebolan-jebolan pesantren di Soreang, Ciamis, Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon, atau Gontor biasanya berorientasi meneruskan sekolah di sana. Mudah-mudahan impian mereka tak putus di tengah jalan, hanya karena gejolak politik ini. Semoga Mesir segera pulih kembali. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 5 Februari 2011.

No comments: