Wednesday, August 26, 2009

Tommy

TAK ada angin tak ada hujan, secara tiba-tiba Hutomo Mandala Putra, putra mantan presiden Soeharto, menyatakan niatnya untuk menjadi ketua umum Partai Golkar. Sebuah kejutan di tengah hiruk pikuk penggalangan dukungan empat orang calon ketua umum yang sudah lebih dulu mencuat. Mereka adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, dan Ferry Mursidan Baldan.

Apa yang mendorong Tommy, begitu pangeran Cendana itu biasa disapa, ingin menjadi ketua umum partai berlambang beringin itu? Tommy mengatakan, sekarang inilah waktu yang tepat untuk terjun kembali ke dunia politik dan bisnis.

Kita tahu bersama, Tommy sempat menghiasi headline media di Indonesia. Anak kelima penguasa Orba itu menjadi terpidana kasus pembunuhan Hakim Agung Saifudin Kartasasmita. Ia sempat merasakan ganasnya penjara Nusakambangan.

Adalah hak Tommy untuk memajukan partai yang dibesarkan bapaknya itu. Terlebih ia pun masih tercatat sebagai anggota partai. Tapi tidakkah terlalu dini untuk maju sebagai ketua umum?

Citra Tommy masih belum bersih di mata masyarakat, mengingat ia baru beberapa tahun saja keluar dari penjara. Yang paling utama, citra Soeharto begitu lengket melekat pada dirinya. Bagaimanapun, masih mengendap dalam memori bangsa ini hegemoni keluarga Cendana selama 32 tahun.

Hal penting lainnya yang akan mengganjal Tommy untuk menjadi ketua umum Partai Golkar adalah persyaratan yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Partai Golkar sendiri. Persyaratan itu menyebutkan calon ketua umum partai merupakan sosok yang berkecimpung sebagai pengurus.

Kalau memang Tommy memiliki tekad kuat untuk kembali terjun ke dunia politik, ia bisa meniru langkah Prabowo Subianto. Citra mantan menantu Soeharto ini di awal era reformasi begitu rendah di mata masyarakat. Ia "menghilang" beberapa lama, lebih banyak beraktivitas di luar negeri. Begitu kembali ke Indonesia, Prabowo berkomitmen untuk memajukan bangsa ini dengan mendirikan partai baru, Gerindra. Langkahnya terbilang luar biasa. Partai baru dengan gelontoran dana segunung itu mampu menyejajarkan diri dengan partai lama.

Kalaupun Tommy tidak ingin mendirikan partai baru, lebih memilih membesarkan Partai Golkar, tentu dia harus bersabar. Setidaknya, Munas Partai Golkar kali ini bukanlah panggung dia. Lebih baik mendekat pada kubu yang menjadi ketua umum dan kemudian menjadi pengurus. Itu langkah yang lebih baik dan elegan, ketimbang buru-buru memburu kursi nomor satu.

Karena kita pun tidak tahu apa sesungguhnya tujuan Tommy memunculkan wacana pencalonan dirinya sebagai ketua umum Partai Golkar itu. Apakah Tommy mengincar kursi presiden pada pemilihan 2014? Apakah Tommy menginginkan keluarga Cendana kembali menguasai panggung politik negeri ini? Semua serba mungkin.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 20 Agustus 2009.

Friday, August 14, 2009

Teror Belum Tamat

KEBENARAN orang yang tewas dalam penggerebekan Densus 88 Antiteror di Temanggung sebagai Noordin M Top hingga kemarin masih simpang-siur. Masyarakat harus bersabar menunggu hasil tes DNA yang kabarnya baru beres dua minggu ke depan. Noordin ataupun bukan, Mabes Polri harus mengumumkan hasil tes itu secara transparan.
Noordin atau bukan yang tewas, tidak berarti menamatkan aksi terorisme yang sudah sembilan tahun ini terus terjadi di bumi Indonesia. Kita harus ingat, sel-sel jaringan teroris meruyak di mana-mana.

Mereka yang pernah ditahan dan kemudian bebas, sangat mungkin tetap mengobarkan semangat untuk berjihad versi mereka. Belum lagi bila kita menghitung pentolan Al Jamaah Al Islamiyah yang belum tertangkap hingga kini, semisal Zulkarnaen. Itu hanya berarti teror yang dilakukan kaum teroris belum tamat.

Ini tentu semakin menambah panjang daftar 'teror' yang memberondong kehidupan masyarakat kita. Harga barang kebutuhan dan sembako akan melesat setelah pemerintah mengumumkan kenaikan gaji PNS lima persen pekan lalu. Sudah menjadi cerita umum, setiap kali ada pengumuman kenaikan gaji PNS, maka harga-harga barang pun akan ikut naik tanpa diminta.

Belum lagi saat ini El Nino membuat musim jadi tak karuan. Dampaknya, petani diteror kekeringan dan terancam gagal panen. Ini berarti para petani, yang menjadi mayoritas di negeri agraris ini, bakal lebih dalam menggigit jari atas minimnya hasil jerih payah menanam padi dan tanaman lainnya.

Tengok juga kaum pengangguran yang berjuta jumlahnya setelah diterpa krisis global semakin diteror dengan kelamnya masa depan dan impian mendapatkan pekerjaan yang semakin kian diraih.

Jangan lupakan teror-teror kemewahan di televisi yang sering dipertontonkan dalam sinetron setiap jamnya. Pertunjukan tindak kekerasan, pamer kekayaan, gosip-gosip artis yang tak jelas juntrungannya, menjadi teror yang terus menerus menggerojoki otak kita, sehingga seolah-olah kita merasa hidup di negeri antah berantah.

Dan masih banyak lagi teror yang harus dilakoni masyarakat kita. Hidup akan semakin dirasakan berat di masa-masa mendatang. Namun, inilah kita, bangsa yang kuat dihantam berbagai teror kehidupan. Pengalaman dijajah berabad-abad oleh bangsa asing dan hidup di kaki rezim otoriter menunjukkan bangsa ini tetap ada dan mampu melanjutkan kehidupan ini. Bagaimanapun, kita harus yakin bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok akan jauh lebih baik dari hari ini.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 11 Agustus 2009.

Tuesday, August 04, 2009

Robohnya Kelas Kami

RATIH Kusumahdewi tak menyangka langit-langit di kelasnya bisa ambruk. Soalnya, plafon itu terbilang baru direnovasi. Tak heran, ia begitu terkejut dan panik ketika langit-langit itu ambruk secara tiba-tiba. Beruntung siswi kelas IV SDN Kramat III Kota Cirebon itu tidak tertimpa runtuhan plafon. Sementara beberapa rekannya yang tak sempat menghindar terluka di bagian kepala.

Terpisah ratusan kilometer, di Garut, pada waktu yang hampir bersamaan, dinding kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI) An Nuur Cinagara, Malangbong, juga tiba-tiba roboh. Anak-anak yang sedang tekun belajar spontan lari lintang-pukang ke luar kelas, menghindari runtuhan dinding. Begitu kepulan debu yang ditimbulkan runtuhan dinding menghilang, mereka tertegun menyaksikan ruang kelas mereka bolong tak berdinding lagi.

Ini bukan isu, ataupun informasi intelijen. Ini kejadian nyata di dunia pendidikan kita. Dan sebetulnya bukan hal yang aneh karena sudah terlalu sering terjadi peristiwa serupa. Saking seringnya, kita sudah tidak ingat lagi berapa banyak kasus bangunan sekolah roboh. Yang paling mutakhir di Kota Bandung adalah bangunan SD Sejahtera IV yang roboh, hanya beberapa minggu setelah selesai pembangunan.
Bukan tidak ada upaya pemerintah untuk membereskan persoalan kerusakan bangunan sekolah ini. Anggaran 20 persen pendidikan di dalam APBN 2009 merupakan salah satu bagian dari upaya itu.

Begitu pula di daerah, pemerintah setempat pun bergerak. Awal tahun ini saja, Pemprov Jabar mengucurkan dana role sharing terakhir untuk perbaikan dan pembangunan ribuan kelas. Dana itu berasal dari APBD murni dan perubahan 2008 sebesar Rp 491,89 miliar.

Bahkan, Depdiknas dengan optimistisnya menyatakan tahun ini tidak akan terjadi lagi bangunan SD rusak. Karena Departemen telah mengucurkan dana Rp 9,07 triliun untuk rehabilitasi dan renovasi ratusan ribu ruang kelas dan sekolah rusak di tingkat SD, Madrasah Ibtidaiyah, dan SD luar biasa.

Sayangnya, optimisme itu belum dibarengi operasional di lapangan. Renovasi berjalan lambat dan tidak menjangkau seluruh sekolah yang harus diperbaiki.
Kita tetap berharap, pemerintah memperbaiki secepatnya kekurangan-kekurangan dunia pendidikan kita. Setidaknya, kelengkapan sarana dan fasilitas pendidikan bisa menunjang kenyamanan belajar siswa sehingga tak muncul anekdot "Robohnya Kelas Kami", sebagai sindiran terhadap bobroknya kualitas bangunan sekolah di Indonesia.

Di tengah suara muram dunia pendidikan itu, berembus angin segar yang melenakan jiwa kita. Dari kaki Gunung Syawal, bertiup cerita tentang sebuah SMP yang mampu membiayai sendiri tanpa bantuan pemerintah. SMP itu hanya berbekal sumbangan dari mereka yang peduli pendidikan. Siswa-siswi di SMP Plus Bina Pandu Mandiri, begitu nama SMP ini, tak perlu khawatir ditagih iuran bulanan atau uang buku. Semua serba gratis, bahkan siswa pun mendapat makanan siang gratis pula.

Keikutsertaan masyarakat secara swadaya dalam pendidikan model seperti ini yang harus terus dipupuk. Agar mereka, para siswa yang tak mampu secara ekonomi, bisa tetap menikmati pendidikan yang kualitasnya tak kalah dari sekolah berbayar. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 31 Juli 2009.