Tak Ada Nyi Mas Entjeh di Sana
ANTUSIASME untuk mengunjungi rumah tua nan unik dan eksotik di Kebon
Kopi Cibeureum, sudah menggebu-gebu sejak setahun lalu. Bahkan jauh
sebelum itu. Sayang ketika itu, saya hanya bisa memandang dari pinggir
jalan atau selintas saat melewati Jalan Cibeureum. Selain tidak kenal
dengan penghuni rumah, ada perasaan takut campur penasaran setiap
melihat rumah yang terkesan suram, sanget, seram, karena rerimbunan
pohon-pohon tua.
Tahun lalu, saya dan Kang Iwan mencoba
bersilaturahmi sekaligus minta izin untuk mengadakan jelajah di kawasan
Kebon Kopi ini. Sayang, ketika itu kami tidak mendapat izin untuk
jelajah, karena alasan privasi keluarga.
Ketika manajemen BlueBird,
yang membeli lahan dan rumah tua ini tahun lalu, mengizinkan Tjimahi
Heritage untuk berkunjung, senangnya tiada tara. Walau kami tahu,
perabotan tua di dalam rumah pasti sudah tidak ada, penghuni pun sudah
pindah, tapi bisa masuk ke dalam rumah saja sudah cukup.
Sebelum
mengunjungi rumah ini, memori kami dipenuhi dengan cerita-cerita soal
Nyi Mas Siti Aminah atau Nyi Mas Entjeh Al Osah (selanjutnya ditulis
NME), yang dinikahi pengusaha Belanda John Hendri van Blommestein.
Mengapa begitu? Karena hanya informasi itu yang kami peroleh. Entah dari
cerita orang, entah dari blog-blog, situs, atau portal yang pernah
membahas rumah tua ini. Semuanya menyebut nama NME sebagai empunya
tanah dan rumah. Cerita soal sengketa tanah di Cibeureum yang
berkepanjangan juga memperkuat kesan bahwa memang Kebon Kopi ini berada
dalam kuasa NME. Dalam cerita-cerita itu, disebutkan NME meninggal
sekitar tahun 1970 dan dimakamkan di Cibeureum.
Ternyata, dengan
mendatangi langsung rumah ini dan mendapat sedikit informasi dari
anggota keluarga yang disampaikan melalui manajemen BlueBird, kita bisa
sedikit menguak tabir yang menutupi sejarah rumah Kebon Kopi. Dan kami
tak menemukan NME d sana. Tak ada kaitannya NME dengan rumah ini.
Mungkin dulu, penghuni rumah ini bertetangga dengan NME. Karena tanah
miik NME memang ada di sebelah barat rumah Kebon Kopi yang sekarang
menjadi Pusat Niaga Cimahi yang tak kunjung terwujud itu. Tanah NME pun
berada pula di seberang PNC, yaitu Kipal dan sekitarnya hingga ke utara
berbatasan dengan rel kereta api.
Kami berkesempatan untuk
menziarahi kompleks makam Kebon Kopi ini yang berada di belakang rumah
tua. Tak kami temukan nisan dengan penanda nama NME atau Siti Aminah. Di
sini, justru kami temukan makam yang cukup tua dengan penanda tahun
1855 atas nama Wangsadimarta.
Sangat mungkin Wangsadimarta ini
adalah generasi pertama penghuni rumah Kebon Kopi. Karena pada generasi
berikutnya muncul nama Wangsadikrama dan Wangsakoesoemah. Dan keluarga
besar Kebon Kopi ini lebih dikenal sebagai sebagai keluarga
Wangsadikrama, seperti pernah dikatakan seorang penghuni rumah saat kami
berkunjung tahun lalu.
Kabarnya mereka ini berasal dari Trenggalek
Jawa Timur. Kalau kita lihat catatan sejarah, migrasi warga Jawa Wetan
sudah terjadi sejak masa Mataram Sultan Agung. Mereka ikut menyerang
Batavia, namun karena kalah, akhirnya memilih menetap di Priangan. Kisah
keturunan-keturunan Mataram yang mukim di Cimahi juga terdengar dari
daerah Cigugur.
Dari kunjungan singkat ini saja, kami bisa
memperoleh banyak pengetahuan baru. Soal sejarah Kopi di Priangan,
sejarah Kebon Kopi berikut keluarga penghuni rumah. Menjelajah untuk
mengungkap sejarah itu memang mengasyikkan. Tentu rasa penasaran kami
belum tuntas. Kami ingin suatu saat bisa berbincang dengan keluarga
keturunan Wangsadikrama ini.(*)
1 comment:
Keren..bisa jelajah sambil belajar sejarah...
Post a Comment