Thursday, June 18, 2009

Adu Putaran

PERANG pencitraan, adu isu dan klaim, menjadi tontonan tersendiri dalam kampanye pemilihan presiden sepekan terakhir ini. Para capres dan cawapres berebut menjadi orang yang paling merakyat. Mendatangi pasar tradisional, berdialog dengan ulama, nelayan, dan pengusaha, adalah sebagian kecil trik kampanye tiga pasangan kandidat orang nomor satu dan dua di Indonesia itu.

Kita masih ingat ketika Bantuan Tunai Langsung (BLT) menjadi isu saling klaim keberhasilan SBY dan JK. Lalu perdamaian di Aceh pun sebagai hasil kerja keras dan keberanian satu kandidat. Tentu saja, kubu kandidat lain dibuat meradang dengan klaim itu.

Jembatan Surabaya-Madura (Surabaya) pun tak luput dari aksi klaim. Satu pihak mengklaim proyek prestisius itu sebagai keberhasilannya, karena diawali pada masa pemerintahannya. Kandidat lain tentu mengklaim inilah kesuksesan pemerintahan yang meresmikan jembatan itu.

Lalu mencuat isu soal putaran pemilu. Kubu SBY optimistis pemilihan presiden akan berlangsung dalam satu putaran. Dasar pernyataan ini adalah hasil survei sejumlah lembaga survei yang mendudukan SBY-Boediono sebagai pasangan dengan perolehan suara tertinggi 70 persen, jauh mengungguli dua pasangan lainnya. Selain itu, pendapat ini juga mempertimbangkan persoalan biaya pemilu yang lebih mahal apabila dilangsungkan dalam dua putaran.


Tentu saja pernyataan kubu SBY ini langsung ditangkis kubu JK-Win dan Mega-Pro. Mereka menyebutkan pernyataan itu bentuk arogansi, bahkan merupakan teror terhadap demokrasi dan penyesatan opini di masyarakat. Dalam pandangan dua kubu ini,
pernyataan itu menggiring publik untuk benar-benar melaksanakan pilpres dalam satu putaran. Dalam artian, memilih kandidat yang diunggulkan dalam survei.

Di balik pernyataan pilpres satu putaran itu, tersembunyi sebuah kekhawatiran, dan ini wajar. Kubu SBY khawatir kalah apabila pilpres digelar dua putaran. Logikanya, walau kini sama-sama bersaing, JK-Win dan Mega-Pro sebelumnya tergabung dalam Koalisi Besar. Jika JK-Win atau Mega-Pro tersingkir, mereka bisa bergabung tanpa sungkan pada putaran kedua. Dan tentu kekuatannya akan jauh lebih besar dan peluang menjadi RI I pun juga terbuka lebar.

Di luar itu, sejatinya tidak jadi soal pilpres berlangsung satu putaran atau dua putaran. Tentu rakyat akan kecewa jika pilpres berlangsung satu putaran tapi kesejahteraan tidak meningkat. Atau berlangsung dua putaran, tapi janji-janji selama kampanye tak terwujud. Yang paling penting sesungguhnya adalah pemilihan presiden ini legitimate, tidak terjadi kecurangan-kecurangan, dan KPU tidak lagi kedodoran dalam persoalan teknis pemilu. Di tangan rakyatlah, pemilu presiden ini berlangsung satu putaran atau dua putaran. Vox populi vox dei.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 18 Juni 2009.

Friday, June 12, 2009

Alutsista Kita

KECELAKAAN beruntun alat tempur milik tentara kita dalam tempo dua bulan memunculkan keprihatinan. Selain kehilangan putra-putri terbaik bangsa, hilang pula aset berupa alat tempur. Sebut saja pesawat Fokker 27, Hercules, dan yang terakhir Helikopter Bolkow BO- 105.

Mungkin bagi negara sebesar dan sekuat Cina, hilang satu dua kendaraan perang tidaklah berarti. Tapi bagi Indonesia, di tengah kesulitan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI, kehilangan satu pesawat sangat-sangat berarti.

Apalagi di tengah "olok-olok" Malaysia di Blok Ambalat, ketangguhan alutsista negara kita semakin dipertanyakan. Sejauh mana persenjataan yang kita miliki mampu mempertahankan tanah air yang memiliki bentangan pantai terpanjang di dunia ini?


Alutsista TNI AD, seperti diakui KSAD Jenderal TNI Agustadi Sasongko, hanya 60 persen yang masih laik. Nasib yang sama kurang lebih dialami pula oleh TNI AU dan TNI AL. Bahkan bisa jadi lebih minimal. Bayangkan saja, dari kebutuhan anggaran pertahanan sebesar Rp 127 triliun, hanya terealisasi 30 persen atau sekitar Rp 36 triliun saja. Masih jauh dari kebutuhan minimun sebesar Rp 100 triliun. Dan anggaran yang minim itu pun lebih banyak tersedot untuk anggaran rutin gaji prajurit, hanya sepersekian persen yang digunakan untuk membeli alutsista baru atau merawat alutsista yang lama.

Memang minimnya anggaran pertahanan tidaklah paralel dengan sering terjadinya kecelakaan yang menimpa alutsista TNI. Semua pun tahu, dalam kecelakaan apapun tidak ada faktor tunggal yang menjadi penyebab. Pasti ada faktor lain, disamping faktor utama. Sebutlah itu faktor cuaca buruk, human error, dan sarana yang tak laik. Tapi sedikit banyak, anggaran yang minim itu turut menyumbang.

Tentu akan ada pula yang berapologi, bahwa yang penting itu bukanlah senjatanya, tapi manusianya, orang-orang yang memegang senjata atau "the man behind the gun". Tak heran, jika pengembangan kekuatan tentara kita pun lebih dititikberatkan pada kemampuan personel, ketimbang pengadaan atau pembaharuan persenjataan. Hasilnya memang patut diacungi jempol. Kemampuan personel Kopassus atau Kopaska, setara dengan kemampuan personel pasukan elite lainnya di dunia.

Namun dalam situasi dan kondisi saat ini, ketika negara-negara luar mulai mengganggu dan mempermainkan kita, tak ada salahnya, jika sumber daya personel prajurit yang unggul itu diimbangi dengan ketersediaan alutsista yang juga mumpuni.

Setidaknya ketersediaan alutsista yang paling minimal. Jika untuk menjaga laut dan pantai kita dibutuhkan 1.000 kapal sekelas KRI, setidaknya 750 KRI harus kita miliki. Jika untuk mempertahankan kedaulatan udara TNI AU membutuhkan 100 skuadron pesawat tempur Sukhoi, setidaknya 75 skuadron sudah siap mengangkasa.

Bagaimanapun kita tidak ingin terus menerus menjadi bahan olok-olok negeri jiran saat melihat kemampuan alutsista kita. Sudah saatnya, anggaran pertahanan itu dinaikkan hingga mencapai anggaran kebutuhan minimum. Ini agar masyarakat Indonesia pun bisa merasa lebih aman melihat kekuatan alutsista TNI yang tak kalah dari negara lain.(*)

Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 10 Juni 2009.
NB: Saat mengundah tulisan ini, baru saja terjadi kecelakaan Heli Puma TNI AU jatuh di Lanud Atang Sanjaya, sekitar pukul 14.55.