Monday, September 29, 2008

The Last Warrior: Minal Aizin wal Aizin

HARI ini adalah hari terakhir saya dan rekan-rekan di Tribun bekerja. Dua hari lagi Lebaran. Sebagian rekan sudah meninggalkan Bandung untuk cuti di kampung halaman masing-masing. Sementara Tribun masih terbit hingga Selasa besok. Jadi harus tetap ada yang jaga gawang agar koran tetap terbit. Kebetulan malam ini saya piket. Jadi benar-benar jaga gawang. Dari pagi sampai tengah malam nanti.

Suasana Lebaran sudah mendominasi kantor. Di ruang redaksi, cuma ada saya dan Kang Jano. Lebih banyak komputer ketimbang orang. Sekred, Ari, sudah mulai cuti. Pimpinan redaksi yang lain belum ada yang datang. Kayak kuburan saja. Terlebih lampu-lampu tidak semua dinyalakan, jadi ruang redaksi agak gelap.

Sebenarnya situasi seperti ini sudah sering dialami, terutama saat akhir pekan. Saya dengan Kang Janu sering duet untuk menggarap halaman 1 kalau para pemimpin libur semua. Sering kami meledek,"Wah lagi bikin koran kampus nih". Dan yang paling penting, kami sudah terbiasa dan dididik menghadapi situasi semacam ini. Sejak koran ini bernama Metro Bandung, libur Lebaran hanya di hari H nya saja. Hari kedua kami sudah masuk dan langsung terbit keesokan harinya.

Tapi begitulah, walau kekuatan personel berkurang, kami tetap semangat bekerja mengisi halaman demi halaman koran ini. Kami tetap enjoy saja. Kata Kang Jano,"Tah ku duaan ge bisa terbit koran teh". He he ...

Jadilah kami The Last Warrior, the Last Journalist. Pekerja-pekerja pers yang tetap bersemangat melayani kebutuhan masyarakat akan informasi. Semoga semangat ini tetap terjaga.

Dan yang lebih penting lagi: Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal Aizin wal Faizin. Kami haturkan permohonan maaf dari lubuk hati paling dalam. Selama ini banyak kesalahan, khilaf kata, alpa sikap. Semoga dengan maaf, hati ini menjadi bening, ikhlas, dan maaf itu akan membuka pintu langit pengampunan. Amin.

Meja yang Dirindukan

UKURANNYA tak besar. Kira-kira 80 cm kali 1,5 meter. Terbuat dari kayu atau multipleks dengan kaki yang menyangga hanya dua. Jumlah orang yang bisa ditampung pun tak banyak. Maksimal tujuh orang. Tapi inilah, meja yang sangat dirindukan pada hari-hari puasa di kantor kami.

Meja ini menjadi tempat favorit para awak malam Tribun untuk berbuka puasa dan makan lama. Biasanya kami makan malam setelah sesi pertama dikirim ke percetakan. Jadi sekitar pukul 19.30 atau 20.00, acara makan bersama pun dimulai.

Rasanya nikmat, bisa makan bareng-bareng. Serasa botram, karena setiap orang membawa bekal dari rumah masing-masing. Memang yang paling aktif dan paling banyak berkumpul di meja ini adalah anak-anak layout. Orang redaksi hanya beberapa saja, tak sebanyak mereka. Saya termasuk yang selalu makan malam di meja ini. Setiap hari saya bekal makanan berat dari rumah. Walau sudah masuk rantang sejak pagi, makanan itu tetap hangat, karena pakai termos khusus.

Yang membuat meja ini dirindukan adalah kebersamaan yang tercipta di setiap kali kami berkumpul makan bareng. Kami biasa berbagi makanan yang dibawa. Jadi semua orang bisa menikmati gorengan, kerupuk, soto, sambel, yang dibawa dari rumah. Orang yang tidak bawa nasi pun bisa makan bareng-bareng, karena kami selalu menyisihkan nasi di rantang untuk mereka yang tidak bawa nasi.

Dari meja itu pula keluar berbagai obrolan, mulai soal pekerjaan, agama, politik, dan sebagainya. Setengah jam sampai satu jam, kami bertahan di meja itu sebelum melanjutkan kembali pekerjaan yang tertunda. Akankah setelah Ramadan berakhir, meja itu akan kembali dipenuhi awak malam Tribun, mudah-mudahan begitu. (*)

My Home Metamorphosis (7): Gagal Ditempati

HOWG!! Eh gimana sih salam khas Winnetou kalau bertemu Old Shatterhand? Kalau gak salah memang begitu, Howg. Apa hubungannya salam Winnetou itu dengan pembangunan rumah saya? Enggak ada, he he..

Ini mah karena saya lama tak menuliskan perkembangan pembangunan rumah, sehingga rasanya perlu memberi salam pembuka seperti itu. Bagaimana bentuk rumah saya jelang Lebaran ini? Apakah sudah jadi? sudah siap ditempati?

Jawabannya mudah, secara bentuk, rumah itu sudah jadi. Tapi belum siap ditempati. Rumah itu sudah bergenting, itu pasti karena di tulisan terakhir juga sudah diceritakan. Railing tangga dan balkon pun sudah dipasang, itu berita terkininya. Bahkan plafon lantai atas pun sudah dipasang dan dicat. Persoalannya, rumah tetap belum bisa dihuni, karena belum berlantai, berkaca, berpintu, berkamar mandi, bercat, dan ber ber lainnya. Intinya, Lebaran kali ini kami sekeluarga hanya bisa memandangi rumah dari luar saja dan merayakan Lebaran di rumah kontrakan.

Sabtu (27/9) lalu adalah hari terakhir para tukang bekerja. Mereka sudah bekerja kurang lebih 3,5 bulan. Dan hasilnya sudah tampak. Rumah sudah berdiri. Tinggal pengerjaan akhir saja. Sepekan sebelum pulang, mereka sudah saya bekali THR plus sarung, baju koko, sirup, dan kue kaleng.

Mudah-mudahan setelah Lebaran nanti, mereka kembali bekerja dan dapat menyelesaikan rumah dalam waktu kurang dari dua bulan. Mengapa harus dua bulan? Karena umur rumah kontrakan tinggal segitu, tinggal dua bulan. Kalau tak rampung akhir November, bingung deh mau tinggal di mana.

Sebenarnya untuk mengundang para tukang kembali bekerja pascalebaran agak berat. Tentu ini berkaitan dengan kondisi keuangan. Uang pinjaman dari bank sudah habis dan hanya bisa merampungkan rumah tak berlantai tak berkaca. Saya berpikir keras untuk mengatur uang yang ada, kemudian mengatur barang apa yang bisa dijual atau digadaikan. Rasanya, episode setelah Lebaran nanti adalah episode paling berdarah-darah. Semua daya upaya bakal dikerahkan untuk menuntaskan, paling tidak 90 persen rumah. Biar bisa ditempati. Semua gaji sudah dipotong sana sini untuk menutup utang, sehingga tak memungkinkan lagi untuk meminjam. Tapi saya yakin, "pinjaman" dari Allah SWT akan datang. Momentum Ramadan bagi saya adalah momentum untuk mendatangkan pinjaman itu. Yakin.

Idul Fitri

BULAN sabit di langit kian mengecil. Itu pertanda, bulan Ramadan akan segera berakhir, dan muncul bulan baru, Syawal. Tak terasa perjalanan ruhani selama satu bulan ini hampir usai. Dan suasana Idul Fitri pun sudah menjelang. Idul Fitri, inilah yang menjadi puncak pendakian selama sebulan ini menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu. Titik kulminasi ibadah sebulan penuh.

Tak heran, untuk kembali fitri itu, orang-orang kota rela berdesak-desakkan di bus-bus dan kereta api. Menuju ke tanah kelahiran, untuk menyambung kembali tali silaturahmi yang terputus. Dengan silaturahmi itulah segala kesalahan, alpa dan dosa, lebur. Diri ini pun kembali putih. Fitrah, bersih jiwa, ibarat bayi yang baru dilahirkan.

Tahun ini berkah dan rahmat Idul Fitri tentu lebih besar. Mengapa demikian? Karena jika perbedaan saja adalah sebuah rahmat, tentu sebuah persamaan nilainya lebih besar lagi. Apa hal yang mendasarinya? Karena umat Islam Indonesia, tak peduli orang NU, Muhammadiyah, dan Persis, kemungkinan besar akan melakukan salat Ied secara bersamaan pada hari Rabu 1 Oktober 2008.

Tentu itu sesuatu yang harus disyukuri. Karena ini hal yang termasuk jarang alias langka. Selama bertahun-tahun, setiap menjelang Ramadan dan Lebaran, selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadan dan 1 Syawal. Walaupun pemerintah sudah menetapkan hari H, tapi tidak menjamin umat Islam Indonesia bisa bersama-sama menggemakan takbir.

Karena itu, upaya para ahli falak dan astronomi di ITB beberapa waktu lalu untuk menggagas penyatuan penanggalan tentu harus dijunjung tinggi sebagai sebuah upaya memersatukan kaum muslimin di Indonesia.

Dalam kalender nasional peninggalan Orde Baru, tanggal 1 Oktober merupakan tanggal keramat, selalu diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Terlepas dari kontroversinya, 1 Oktober mengingatkan masyarakat, bahwa Indonesia masih memiliki Pancasila yang hari- hari ini semakin dilupakan. Pancasila yang menyatukan berbagai keberagaman milik bangsa ini.

Diakui atau tidak, slogan Bhinneka Tunggal Ika yang didengung-dengungkan Orde Baru ternyata efektif untuk mengikat perasaan satu bangsa, walaupun kenyataannya bangsa ini terdiri dari ribuan pulau, ribuan suku, dan budaya.

Jika Ramadan mengajarkan semangat toleran kepada sesama, itu pula yang harus diusung setelah Ramadan usai. Di bulan-bulan di luar bulan suci ini, toleransi di antara anak bangsa ini yang harus menjadi pijakan, dan bukan arogansi yang mengoyak kerukunan beragama yang menjadi tujuan.

Kita semua berharap pintu-pintu langit terbuka dan ampunan Allah SWT tercurah bagi mereka yang benar-benar berpuasa dan meraih takwa di akhir Ramadan ini. Berharap, saum ini akan menyembuhkan luka-luka dan membangkitkan bangsa ini dari segala macam terpaan krisis. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Senin 29 September 2008

Wednesday, September 17, 2008

Selamat Bekerja Kang Dada-Kang Ayi

HARI ini, bertempat di gedung bersejarah, Gedung Merdeka, Dada Rosada dan Ayi Vivananda akan dilantik Gubernur Jabar mewakili Mendagri menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung periode 2008-2013. Masa kerja lima tahun yang kedua ini merupakan pembuktian Dada Rosada untuk menuntaskan tujuh program prioritas yang sudah diretas pada periode sebelumnya.

Tentu, karena sudah dipercaya rakyat untuk memimpin kembali Kota Bandung, duet Dada-Ayi harus membayar kepercayaan itu dengan kerja keras. Setumpuk pekerjaan rumah sudah menunggu Dada-Ayi pascapelantikan ini. Masalah pengangguran, lingkungan hidup, penataan kota, dan masalah yang sangat dekat dengan masyarakat hari-hari ini: ketersediaan dan harga sembako serta minyak tanah dan gas, Bagaimanapun sebagai pemimpin, Dada-Ayi harus bisa menyelesaikan persoalan keseharian masyarakat.


Lalu soal Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage. Ini adalah pekerjaan rumah besar yang membutuhkan perhatian serius. Ini karena Dada bersikukuh PLTSa-lah yang menjadi solusi tepat penanganan sampah di Kota Bandung, bukan komposting ataupun gerakan 3R (Recycle, Reuse, Reduce). Sementara di lapangan, penolakan sebagian masyarakat, khususnya di Griya Cempaka Asri, makin menguat. Jika tidak ditemukan cara yang cerdas untuk menyelesaikannya, bukan mustahil proyek ini gagal di tengah jalan.

Persoalan penataan wilayah pun sudah menunggu tangan dingin Kang Dada dan Kang Ayi. Bagaimana semrawutnya penataan permukiman diakui Penjabat Wali Kota Edi Siswadi yang menyaksikan kondisi Bandung dari udara, Juli lalu.

"Saya melihat, di Kota Bandung ada ketidakseimbangan ekologis antara ruang atau lahan yang tersedia dengan ruang-ruang publik, ruang terbuka dan padatnya pemukiman. Di setiap permukiman nyaris tidak ada ruang terbuka, jarang sekali penghijauan dan tidak ada pepohonan. Yang nampak hanya bangunan-bangunan," begitu komentar Edi, seusai pemantauan. Tentu gambaran yang disaksikan Penjabat Wali Kota itu menjadi masukan berharga untuk langkah ke depan bagi Dada-Ayi.

Kisah Umar bin Abdul Aziz, khalifah di masa Bani Umaiyyah, bisa menjadi cerminan bahwa hari-hari seorang pemimpin diisi dengan kerja keras untuk menyejahterakan rakyatnya. Setelah menyampaikan pidato pelantikan dirinya, Umar turun dari podium, menuju ke rumah dan langsung masuk ke dalam kamar, hendak beristirahat. Belum sempat ia merebahkan tubuh, putranya, Abdul Malik, tiba-tiba masuk dan berseru, "Wahai ayah, apa yang hendak engkau lakukan?" "Saya ingin istirahat sejenak. Sepertinya, tubuhku tidak mempunyai kekuatan lagi. Saya capek, "jawab Umar. "Apakah ayah bisa beristirahat sementara rakyat dibayang-bayangi oleh kemiskinan dan kezaliman?" tanya sang putra lagi.

"Wahai anakku, kemarin malam saya tidak bisa memejamkan mata sedikit pun. Jika waktu Zuhur nanti tiba, saya akan salat bersama rakyat dan mengatasi permasalahan mereka,"jawab Umar. "Ayahanda, siapakah yang bisa menjamin ayah bisa hidup sampai waktu Zuhur nanti? tanya Abdul Malik.

Umar bagai tersengat mendapat pertanyaan anaknya itu. Ia langsung bergegas bangkit dari peraduan, keluar menemui rakyat. Dan sejarah mencatat, dua setengah tahun masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz adalah masa gemilang, ketika tak ada satupun rakyat yang miskin dan kelaparan.

Kita berharap, Kota Bandung di bawah kepemimpinan duet Dada-Ayi akan menjadi Bandung yang termaju dan terbaik. Karena Dada berpengalaman membangun dan mengetahui persoalan Kota Bandung. Selamat bekerja, Kang Dada-Kang Ayi!(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 16 September 2008.

Pulang

TADI malam, sekitar jam 22.30, Bu Eri pulang ke rumah setelah 3 hari melancong ke Singapura. Namanya pulang dari luar kota, apalagi dari luar negeri, pasti deh bawa oleh-oleh dan barang belanjaan.

Beda dengan lawatan pertama, kayaknya oleh-oleh kali ini banyak. Kata Bu Eri sih buat bagi-bagi di kantor. Dan memang masih kata Bu Eri, free time atau waktu bebasnya lebih banyak. Pertemuan dengan narasumber hanya beberapa jam dalam sehari. Sisanya habis untuk jalan-jalan dan belanja.

Yah, yang penting mah selamat sampai di rumah kembali. Soal oleh-oleh mah, itu nomor 1 eh nomor kesepuluh.(*)

Saturday, September 13, 2008

Singapura

BESOK pagi jam 7.00 WIB, Bu Eri akan terbang ke Singapura. Ada tugas dari kantor untuk liputan kesehatan di Negeri Singa. Tadinya Bu Eri mau nginap dulu semalam di Jakarta, biar dekat ke bandara Soekarno Hatta. Tapi berhubung sendirian, gak berani, terutama subuh-subuh pas meluncur dari hotel ke Bandara. Naik taksi di Jakarta emang mesti hati-hati. Banyak cerita kriminal taksi di ibukota. Jadi, akhirnya tengah malam nanti, saya mengantar Bu Eri ke Bandara.

Rencananya mau pakai travel Cipaganti. Dijemput jam 12 malam ke Unjani. Tapi sampai sekarang, saya masih di kantor. Masih menggarap satu halaman lagi. Dan ada Persib sedang main lawan PSMS di Stadion Jatidiri Semarang. Skor sementara 1-0 buat Maung Bandung. Si plontos Rafael Bastos nyetak gol dari titik penalti.

Ya mudah-mudahan, sebelum jam 12, sudah ada di rumah. Paling cuma menyimpan ransel. Langsung berangkat lagi. Ngejar subuh di Bandara, biar tenang. Walau harus menunggu cukup agak lama, tak apa. Yang penting sudah ada di bandara, tidak terlambat. Datang sebelum waktu yang ditentukan, lebih baik bukan?

Ini kali kedua Bu Eri ke negeri jiran itu. Kalau gak salah tahun lalu juga ke sana, juga untuk liputan kesehatan. Bedanya, dulu yang mengundang itu Singhealth, konsorsium rumah sakit-rumah sakit besar di Singapura. Sekarang yang mengundang Paragon, katanya sih rumah sakit khusus kanker plus. Plus di sini adalah selain rumah sakit, Paragon juga adalah mal dan hotel.

Negeri sekecil itu, kayaknya Kabupaten Bandung lebih besar, memang jadi sedang mengembangkan wisata kesehatan. Soalnya banyak warga Indonesia, tentu yang berduit banyak, berobat di sini. Apalagi di Singapura banyak orang-orang kaya dari Indonesia yang menetap. Padahal, bisa jadi, di Indonesia pun sudah ada teknologi pengobatan yang canggih. Hanya faktor biaya yang kelewat mahal yang jadi kendala.

Mudah-mudahan Bu Eri selamat sampai di tujuan. Dan pulang kembali dengan selamat.

Laskar Pelangi on The Movie

WADUH senangnya, film Laskar Pelangi hasil adaptasi novel best seller "Laskar Pelangi" Andrea Hirata, bakal tayang tanggal 25 September 2008 di seluruh Indonesia. Berarti, hmm, berapa hari lagi yah? 12 hari lagi. Wah gak sabar pengen nonton. Saya prediksikan, film yang novelnya begitu menginspirasi ini bakal booming, sebooming novelnya. Pasti penonton film ini bakal antre seantre-antrenya, hingga pihak pemilik bioskop harus buka 2 atao 3 studio untuk memutar Laskar Pelangi.

Semalam saya nonton Kick Andy di Metro TV, membahas soal Laskar Pelangi on The Movie ini. Ditampilkan 10 orang pemeran Laskar Pelangi. Memang Mira Lesmana dan Riri Riza jago merekrut orang. Karakter pemain debutan asli orang Bangka Belitong itu mirip dengan tokoh-tokoh real Laskar Pelangi saat kecil.

Zulfani yang memerankan Ikal, Andrea kecil, ternyata mirip Andrea saat kecil. Saya tertawa melihat kepolisian Zulfani saat ditanya Andy Noya adegan mana yang paling sulit. "Waktu pacaran sama Aling," kata Zulfani. Geer penonton tertawa. Andy pun terus mencecar letak kesulitan Zulfani. "Jadi ada adegan Ikal melihat tangan Aling?". Iya ada," jawab Fani. Lalu ada juga saat Ikal saling pandang di kolong meja," tanya Andy lagi. "Itu yang paling sulit," tukas Ikal,eh Zulfani, yang disambut tawa pemirsa studio, dan juga saya di rumah. "Malu," jawab Zulfani ditanya alasan adegan itu paling sulit. Wah, bener, polos banget.

Hanya tokoh Harun yang tidak tampil di Kick Andy. Saya lupa namanya. Tapi pemeran Harun, penyelamat SD Muhammadiyah Belitong ini, benar-benar memiliki kelainan. Dia adalah siswa SLB di Babel.

Setting lokasi pun dibuat sedemikian rupa agar mirip dengan deskripsi Andrea tentang sekolahnya yang bocor di sana sini dan jika sore atau malam hari berubah jadi kandang kambing. Adegan tarian Afrika yang heboh itu pun dibuat rancak. Cut Mini pun pantas jadi Bu Muslimah. Ah, pokoknya mah tonton aja deh film ini. 12 hari lagi kok.

Salut dua jempol tentu harus diacungkan pada kerja keras tim Miles dan Riri yang begitu maksimal untuk mewujudkan film yang menginspirasi hidup banyak orang. Seperti Andrea bilang, novel Laskar Pelangi bukan hanya sekadar kisah anak-anak kuli di Belitong, tapi sebenarnya gambaran pendidikan di negeri ini. "Saya ingin film ini juga bisa menginspirasi orang-orang di negeri yang tengah kesulitan mencari teladan hidup, krisis, bahwa masih ada orang yang memiliki semangat seperti Bu Muslimah dan Laskar Pelangi. Dan mimpi itu menjadi awal kita untuk meraih sesuatu yang ada di depan. Ternyata sesuatu yang di depan itu sebenarnya ada dalam jangkauan kita. Siapa sangka, Zulfani, anak seorang tukang jam di Tanjung pandan bisa menjadi aktor bersinergi dengan sineas-sineas terbaik negeri ini," begitu Andrea bilang.

Bermimpilah, dan raih mimpi itu dengan penuh semangat dan kerja keras. Ada kemauan, pasti ada jalan. "Menarilah dan terus tertawa, walau dunia ini tak seindah surga..." suara Giring, vokalis Nidji, terus bergema. (*)

Thursday, September 11, 2008

Yogya Plaza

SAYA tidak bermaksud promosi pusat perbelanjaan yang satu ini. Hanya ingin bercerita karena merasa nineung. Apa yah bahasa Indonesianya? Terkenang, nostalgia lah, begitu. Ini pusat perbelanjaan terbesar di Cimahi dan baru dibuka Rabu pekan kemarin.

Saat pembukaan, jalan raya Cibabat atau kini bernama Jalan Amir Machmud dibuat macet. Nyaris satu kilometer panjang antrean mobil mulai depan Taman Mutiara sampai Tagog. Begitu melihat kemacetan, saya banting setang motor ke kanan. Masuk daerah Kalidam, menyusuri jalan kecil Pasirkumeli, memutar ke ke Jalan Sukamaju daerah Nyontrol tembus ke jalan Abdul Halim untuk menghindari kemacetan.

Lokasi pusat perbelanjaan itu setiap hari saya lewati. Sejak dibangun beberapa bulan lalu, saya selalu mengamati progres pembangunannya. Siang malam pembangunan dikebut. Pikir saya, pasti mengejar bulan puasa dan lebaran. Ternyata benar, tiga minggu mau Lebaran sudah dibuka.

Kini di Cimahi makin banyak pusat perbelanjaan, dan rasanya yang di Jalan Raya Cibabat ini yang unggul. Selain paling besar, karena berlantai empat dengan luas area satu blok kampung, posisinya sangat-sangat strategis. Beda dengan Cimahi Mal yang masuk ke jalan sekunder, YP ada di pinggir jalan besar perlintasan Cimahi Bandung. Mudah dijangkau, karena dimanapun cukup sekali naik angkot.

Yang membuat saya nineung adalah lokasi YP ini tepat berada di pinggir bekas rumah saya dulu. Rumah tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. Bahkan lokasi YP ini adalah tempat saya bermain layangan, mengambil buah jeruk bali yang jatuh, dan tempat dikejar-kejar anjing Doberman. Kini rumah saya sudah berubah menjadi gedung milik Notaris Betty. Memang, tahun 1995 rumah itu dijual, untuk menutupi utang-utang bapak, beli rumah baru di perkampungan, dan untuk biaya kuliah kakak dan saya.

Dulu rumah saya bernomor 436A, Jalan Raya Cibabat. YP ini bernomor 434. Rumah saya, maksudnya rumah orang tua, nyempil, kecil, terjepit rumah orang-orang kaya di Desa Cibabat. Ada rumah Pak Suwarno (alm) pemilik RS Asadyra (kini RS Mitra Kasih). Lalu rumah Pak Rozak, pengusaha percetakan. Sementara lokasi YP adalah rumah milik Pak Suhaeli (alm), juragan kaya di Sukajaya.

Rumahnya besar tak tanggung-tanggung. Batasnya, bagian depan di Jalan Raya Cibabat, samping Jalan Sukajaya hingga di belakang ke Jalan Sukajaya II. Satu blok kotak itu milik Pak Suhaeli sendiri. Saya pernah menulis tentang Kang Gito Rollies. Di rumah inilah Kang Gito sering bermain.

Rumah itu dulu sangat rimbun. Di halaman depan, ada dua pohon jeruk bali, yang tiap berbuah selalu berjatuhan. Lalu ada pula pohon campoleh. Pagarnya tinggi. Tapi karena tinggi itu pula, memudahkan saya untuk naik ke atas genting rumah saat pulang larut malam dan langsung masuk ke kamar saya. Setiap pagi, tukang kebun, Mang Pandi dan Mang Uwon, membersihkan halaman depan ini.

Nasib nahas menimpa Mang Uwon. Ia dua kali digigit anjing Doberman milik anak Pak Suhaeli yang dibiarkan berlarian di halaman. Kejadian itu dalam rentang wakt usatu bulan. Posisi saat digigit pun persis, ketika Mang Uwon jongkok mencabuti rumput. Rupanya bagi Doberman, orang yang berjongkon merupakan santapan empuk dan tak ampun punduk mang Uwon jadi santapan. Karena mengalamai infeksi akibat gigitan anjing itulah Mang Uwon meninggal.

Ah, banyak kenangan di tempat itu. Saya masih merekam saat Jalan Raya Cibabat lebarnya hanya enam meteran. Di pinggir kiri kanan jalan ada selokan, tempat dulu kakak saya jatuh saat belajar naik sepeda. Tapi dari dulu, jalan ini memang jalan nasional. Kini lebarnya sudah 10 meter lebih. Kendaraan yang lalu lalang makin ramai dan tentu macet.

Setiap kali lewat di depan rumah dan YP, kenangan masa kecil berkelebat. Ya, asal tak terus tenggelam dalam kenangan saja. Tak apa, nostalgia. (*)

Obama

WALLPAPER di komputer saya berganti. Kini foto Barack Obama berlatar belakang bendera AS yang mejeng. Bukan berarti saya pendukung Obama, apalagi Amerika. Kalau simpati iya. Obama mencatat sejarah sebagai calon presiden AS pertama kulit hitam. Bayangkan, di negeri yang katanya mbah demokrasi itu, baru kali ini warga kelas 2 bisa bersaing dengan kulit putih. Terlebih Obama pun pernah merasakan hangatnya matahari Indonesia, saat sekolah di Menteng Jakarta sana.

Dan kebetulan juga, sejak kira-kira setahun lalu, saya mengumpulkan berbagai foto tokoh dunia, termasuk di dalamnya Obama. Foto-foto itu untuk kepentingan pemberitaan, jika dibutuhkan. Entah untuk headshot, atau keperluan pendukung lain. Seperti halnya tempo hari saya mengumpulkan foto-foto Benazir Bhutto. Eh, tak lama Benazir kena bom.

Bukan berarti juga saya mendoakan Obama terbunuh. Seperti judul buku Kang Her "Jangan Bunuh Obama", saya berharap Obama tidak bernasib seperti John F Kennedy, orang yan diidolakannya. Obama harus benar-benar membuat perubahan bagi AS. Walaupun untuk urusan Palestina, saya tidak sepakat. Obama tetap mendukung Israel bercokol di negeri Gaza itu.

Ternyata ketenaran seorang tokoh menjadi ladang bisnis bagi yang lain. Bahkan plagiator pun ketiban untung. Seperti Aa Jimi di sini yang mirip Aa Gym, lalu Ronaldinho Sodikin van Banjaran yang mirip si gigi tonggos Ronaldinho. Di AS, ada juga orang yang mirip banget dengan Obama. Ppekan-pekan ini pun, di AS tengah ramai isu skandal seks orang yang mirip dengan Obama. Jangan-jangan si plagiat yang nongol saat konvensi Partai Demokrat itu yang bermain api, he he.

Kalau kemarin-kemarin, popularitas Obama luar biasa memukau warga AS, kini pamornya mulai tersaingi Sarah Palin, Cawapres John McCain dari Republik. Tentu karena Palin adalah perempuan, dan ternyata juga punya kapabilitas sebagai negarawan. Obama yang menggandeng Joe Bidden, maka disebut pasangan Obiden, kini harus waspada. Karena sangat mungkin dia terjungkal di tikungan terakhir, 4 November mendatang.

Kalau mau lihat foto-foto Obama waktu sekolah, kuliah, nikah, dan keluarga, tinggal unduh saja di bawah ini:
1. Tahun 1976 Obama berpose untuk buku tahunan Punahou School di Honolulu, Hawaii.
2. Tahun 1979, Obama lulus SMU disambut peluk hangat kakek dan nenek tiri Stanley Armour Dunham dan Madelyn Lee Payne Dunham
3. Obama kuliah di Harvard
4. Obama menikah dengan Michelle Robinson
5. Obama bersama keluarga
6. Obama main biliard (*)

Tuesday, September 09, 2008

Pagi yang Riuh

PAGI BUTA 9 September ini dibuka dengan keriuhan dua bidadari kecil di rumah kontrakan. Alhamdulillah, beberapa hari ini Kaka kuat shaum. Dan setiap sahur, pasti tak susah dibangunkan. Dan ternyata Adik pun sigap bangun saat aku, Bu Eri, Mbah, Teteh, dan Kaka, makan. Padahal biasanya baru bangun saat azan Subuh. Seolah ingin merayakan ulang tahun pernikahan ayah dan ibunya. He he geer.

Setelah melek begitu rupa, tak ada cerita Adik tidur lagi. Dia akan berputar, berguling, di kasur. Mengotak-atik DVD player di meja, menjahili Kaka yang sudah tidur duluan dengan cara mencolok-colok mata atau hidungnya. Mengganggu ayah dan ibunya yang lagi salat. Meminta Alquran kecil dan menirukan orang yang mengaji.

Nah saat membaca Alquran itulah, saya tertidur sambil masih memegang mushaf, punggung bersandar pada dinding beralas bantal. Maklum, ngantuk berat setelah piket. Saya baru pulang ke rumah pukul 02.00 dini hari. Saya sempatkan untuk tidur sakerejep, biar badan istirahat sejenak.

Saya tak tahu lagi apa yang Adik kerjakan. Hanya sayup-sayup saya dengar, dia memanggil-manggil,"Bu, Mbu...Yah, Ayah". Rupanya Adik main sendirian, karena Bu Eri pun tertidur di bedcover yang dijadikan kasur.

Sampai akhirnya, jam menunjukkan 07.30, Teteh membangunkan Kaka yang nyungsep di punggung ibunya. "Ka, bangun Ka, sekolah". Aku pun ngorejat, terbangun dan segera membangunkan Kaka. "Hayo, hayo, telat bangun ini. Bangun Ka, Bu," kata saya membangunkan semua, termasuk Adik yang tidur nyempil dekat Kaka.

Mulailah kesibukan terjadi. Kaka segera mandi, tepatnya dimandikan Bu Eri. Melihat Kakanya mandi, Adik pun ingin mandi. Akhirnya mereka giliran dimandikan Bu Eri. Sementara saya cukup cuci muka saja, bersiap untuk mengantarkan Kaka ke sekolah.
Namun karena perut melilit, saya ke WC dulu. Seperti biasa, WC adalah tempat bertapa paling baik. Rupanya Kaka sudah selesai berseragam, Adik pun sudah paku baju. Sementara jarum panjang jam dinding sudah menyentuh angka 10.

"Ayah, ayo cepat, udah siang nanti terlambat," teriak Kaka. Adik pun tidak mau kalah, ikut teriak dengan bahasa planet. "Yah, A cep," katanya. Saya tertawa mendengarnya. Maksudnya tentu Ayah cepat. Karena artikulasi yang belum fasih saja, omongan Adik terdengar aneh.

Saya pun bergegas menyiapkan motor, dan langsung tancap gas menuju TK Attaqwa, setengah kilometer jaraknya dari rumah. Pulang mengantar, saya tak langsung ke rumah kontrakan, tapi ke rumah yang tengah dibangun. Tak lama Adik dan Teteh datang sambil membawa nasi buat sarapan pagi Adik.

Saya pun tak lama di rumah belum jadi itu. Langsung kembali ke rumah kontrakan. Hanya ada Bu Eri yang tengah beberes. Memang sepi di rumah wetan, begitu kami menyebut rumah kontrakan ini. Kami pun terlibat perbincangan tentang rumah, bagaimana memanfaatkan uang tersisa untuk barang prioritas. Karena hanya itu yang bisa kami lakukan, memindahkan prioritas saja. Misalnya, semula dengan uang yang ada bisa beli kaca dan engsel pintu, namun karena prioritasnya digeser, uang dibelikan untuk keramik kamar mandi.

Setelah sepakat dengan perubahan prioritas pembangunan rumah, baru saya mandi, bersiap untuk pergi ke kantor. Beraktivitas rutin seperti hari-hari sebelumnya, dan pulang kembali ke rumah saat anak-anak sudah terlelap semua. (*)

Tanggal 9 Bulan 9

SAAT dulu menetapkan hari pernikahan pada tanggal 9 bulan September (9), tidak ada perhitungan atau pertimbangan itu angka baik atau hoki. Juga tak tahu di tanggal yang sama, Presiden SBY berulang tahun. Toh waktu itu, SBY belum jadi presiden.

Pertimbangan utama menentukan waktu tepat menikah adalah karena tanggal 9 September tahun 2001 itu adalah hari Minggu. Hari libur, hari untuk bersantai, bersilaturahmi dan memenuhi undangan. Kalau mengundang teman atau saudara yang rumahnya jauh, tentu pas jika undangannya pada hari Minggu.

Eh ternyata, belakangan saya baru sadar kalau 9 September juga adalah hari olahraga nasional alias Haornas. Lalu makin ngeh, kalau SBY juga lahir pas 9 September. Dia pun mendeklarasikan Partai Demokrat pada 9 September. Kebetulan pada Pemilu 2004, Demokrat mendapat nomor urut 9.

Ah, tapi saya tidak bangga, ultah pernikahan saya bertepatan dengan ultah SBY. Ya iyalah, ngapain juga bangga, nggak ada hubungannya kok. Apa SBY tahu saya ultah nikah, pan enggak? Apa dia ngirim kado atau saya ngasih ucapan selamat? Pan enggak juga, he he.

Tanggal 9 September 2004 juga tercatat sebagai hari terjadinya ledakan bom di Kedubes Australia, Kuningan Jakarta. Ada beberapa orang yang tewas, lainnya luka. Pengeboman itu makin mengukuhkan citra Indonesia sebagai negeri teroris.

Tak ada ritual khusus memeringati ultah pernikahan ini. Yang penting doa keselamatan, kebahagiaan, keberkahan. Semoga langgeng seia sekata.(*)

Selamat Menempuh Hari-hari Terjal, Istriku

9 SEPTEMBER, tujuh tahun lalu, aku meminangmu. Disaksikan para malaikat dan bidadari, kuucapkan kesaksian atas keesaan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Berakad untuk menjadikanmu sebagai pendamping hidupku. Dan itulah hari yang menyatukan kita, hari yang dinanti.

Kini, bahtera ini telah berkembang. Dua bidadari kecil menjadi penenang hati kita. Merekalah kini amanah terbesar yang Allah berikan dan harus kita jaga. Tawa dan tangis mereka akan terus mengisi hari-hari kita.

Terima kasih, istriku, telah mendampingiku selama ini. Merajut cerita duka, cerita suka, bersama. Berbagi canda, berbagi derita, menjadi bagian hidup kita. Tujuh tahun, memang terasa sebentar, tapi sesungguhnya tidak sebentar. Karena selama waktu itu, kita jatuh bangun menjaga irama langkah kita.

Dan impian-impian kita satu persatu mewujud. Padahal dulu hanya mimpi, bahkan sampai kini kau pun masih merasa bermimpi. Tak percaya kini sudah memiliki bidadari-bidadari yang menggemaskan, yang meriuhrendahkan rumah kita. Yang membuat terang senyum kita di pagi hari. Kadang membuat kening kita berkerut, tapi cepat lurus kembali, melihat kecerian dan kemanjaan mereka.

Dulu hanya mimpi, hanya mimpi. Hanya harapan. Tapi harapan adalah doa, istriku. Doa-doa yang selalu bertaburan di keheningan. Doakan agar aku bisa menjadi imam terbaik yang akan memandu jalan hidupmu dan anak-anak kita. Doakan agar aku senantiasi dilimpahi rahmat Allah, dikaruniai kemampuan untuk mensyukuri nikmat Allah. Doakan agar aku bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan dan kemanusiaan. Doakan agar aku bisa menyempurnakan tujuan bahtera ini.

Maafkan jika langkahku tak selamanya seirama, kadang menyinggung hatimu dan membuatmu terluka. Maafkan aku yang masih sering kehilangan kontrol diri, masih sering terbawa emosi. Maafkan aku.

Jalan kita masih panjang. Tanggung jawab di pundak kita untuk menjaga amanah yang Allah berikan pun semakin besar. Jalan yang ditempuh bukan semakin mudah, tapi kian terjal menghadang. Terlebih, hari-hari ini adalah hari-hari yang berat untuk mewujudkan mimpi kita.

Tapi tak perlu merasa kekurangan dengan dunia. Syukuri segala sesuatu yang sudah diraih. Mensyukuri nikmat, itulah sesungguhnya yang harus menjadi napas kita dalam melangkah. Tak usah khawatir dengan keadaan saat ini. Jangan pernah menyerah. Menyerah bukanlah kosa kata yang ada dalam hidup kita. Berjuang dan berjuang untuk yang terbaik, itulah langkah kita.

Yakinlah, Allah sudah mengatur segala sesuatunya dengan sempurna. Kita tinggal berusaha keras memberikan yang terbaik. Dan yakin, Allahlah yang akan mencukupi segalanya. Selamat menempuh hari-hari terjal, istriku. Selamat milad pernikahan kita. Semoga Allah memudahkan segala sesuatunya.

Tujuh tahun, bukan waktu sebentar, istriku.(*)

Tuesday, September 02, 2008

Mencoba Mengamati Hilal

MINGGU (31/8) sore, magrib tinggal beberapa saat lagi. Saya berdiri di dak rumah lantai dua. Tempatnya lebih tinggi dari rumah orang lain dan pandangan luas membentang. Saya menghadap ke arah matahari terbenam.

Di ufuk barat itulah, jika posisinya memungkinkan, juga kondisi alam mendukung, akan tampak bulan baru muncul. Hilal, begitu istilah ilmu Falak, sebagai penanda bergantinya bulan, dalam hal ini bulan Sya'ban ke Ramadan.

Pada waktu bersamaan, saya pastikan para ahli rukyat juga tengah memicingkan mata secara telanjang atau lewat teleskop mengamati tenggelamnya matahari dan munculnya bulan.

Sayang, mendung menyergap sehingga bulan muda tak tampak. Bada Isya, sidang Itsbat Depag menetapkan awal Ramadan adalah 1 September 2008, sama dengan penentuan lewat hisab. Biasanya memang begitu. Apabila hilal, bulan muda, tidak tampak atau terlihat, usia bulan digenapkan jadi 30 hari.

Di negera kita, persoalan penetapan awal Ramadan dan Lebaran selalu menjadi perdebatan. Sering kali, antara ormas, khusus NU dan Muhammadiyah, berbeda dalam hasil akhir. Sehingga hal itu pun membuat beda hari Lebaran.

Kebanyakan awal Ramadan selalu sama, tetapi saat Lebaran banyak yang berbeda. Kabarnya untuk tahun ini, awal dan akhir Ramadan akan sama. Ini bukan hasil kesepakatan, tapi karena alam mengatur demikian.

NU mendasarkan penetapan awal bulan pada rukyatul hilal, penglihatan visi bulan muda. Sementara Muhammadiyah berdasarkan hisab, perhitungan matematis astronomis. Dua-duanya memiliki landasan syar'i yang kuat.

Berhubung saya bukan ahli astronomi dan juga tak paham soal rukyat-hisab, saya tidak akan membahas panjang lebar soal itu. Dalam soal awal puasa dan Lebaran, saya berprinsip pemerintahlah yang harus menetapkan. Seperti halnya di negara-negara lain, bukan ormas atau lembaga masyarakat. Kalau pemerintah menetapkan hari H, ya ikut hari H.