Tuesday, January 02, 2007

HAJI


MUSIM haji sekarang ini mengingatkan saya saat umrah, awal Juli 2006 lalu. Memang beda antara Haji dan Umrah, tapi nilai ibadahnya sama. Yang membedakan haji itu pake wukuf dan melontar jumrah, juga bermalam di mina. Lainnya sama dengan Umrah.
Suasana Mekah dan Madinah itu yang membuat saya rindu untuk kembali. Apalagi sekarang saya sedang menggarap rubrik haji dari Qiblat Tour, tiap hari mengedit berita haji dan memasang foto Arafah, Mekah, Madinah. Wah, makin ingin saja ke sana lagi.

Ingin tawaf kembali sambil bercucuran air mata. Menghadap Allah SWT langsung di hadapan Kakbah. Siapa orangnya yang takkan bergetar saat menatap bangunan kubus ber-Kiswah itu. Semua kesombongan itu lumpuh saat berdiri di pelataran Kakbah. Saat kening ini menyentuh marmer buatan Italia di pelataran Kakbah, tak tahan air mata terus mengalir.
Ingin rasanya mencium kembali Hajar Aswad, batu hitam dari surga itu. Berjuang dengan penuh keikhlasan, itu inti dari cara kita berjibaku mencium Hajar Aswad. Ingin lagi rasanya bermunajat di Multazam, mendekap dinding Kakbah sebelah kanan Hajar Aswad. Mengalir lagi air mata ini saat bergelantungan di Kiswah Kakbah. Kapan lagi saya bisa menemui di sini, di tanah suci, tanah haram, Mekah al Mukarromah.

Kurban ...


MINGGU (31/12) adalah Idul Adha 1427 H. Hari Raya Kurban. Alhamdulillah, ini adalah tahun keempat, saya sekeluarga bisa berkurban. Ya, seekor domba. Kurban ini saya putar bergiliran. Tahun pertama, saya. Kedua, Bu Eri, ketiga Bila. Sebenarnya tahun ini saya sudah menawarkan ke Bapak supaya kurban atas nama bapak saja, karena kita sudah semua. Tapi Bapak nolak,"Bapak enggak, udah diputar lagi saja". Ya sudah, tahun ini giliran saya yang berkurban.
Selain saya, Mas Rohman juga berkurban. Di keluarganya juga dipakai sistem giliran. Tahun ini Mas Rohman, sebelumnya Fathan, sebelumnya lagi Mbak Ani. Setiap tahun, kami beli domba ini dari Pak Didin, tetangga masih satu RW. Biasanya memang dombanya besar-besar dan terurus. Harganya ya paling tinggi 1 juta. Bahkan, tahun lalu cuma 850 ribu, tapi body domba lebih besar. Mungkin tahun sekarang pakan ternak lebih mahal.  Bila ikut waktu ngambil domba. Tapi ya itu, takutnya muncul ngelihat domba. Langsung sembunyi di belakang badan Bu Didin, tapi sambil ingin melihat. Kenapa Bila jadi takut, ini gara-gara tahun lalu dikejar embe...he he..
Selama saya tinggal di Babakan Sari, belum pernah sekalipun kita "pesta" daging kurban. Bikin sate, atau ngegule. Bagi kita, apa yang sudah kita kurbankan, sepenuhnya hak kaum duafa. Panitia juga sempat menawarkan,"mau daging paha?". Walah, enggak deh makasih. Zalim rasanya kalau kami meminta dan memakan lagi apa yang sudah menjadi hak fakir miskin. Teladan Ibrahimlah yang harus dituruti. "Mengurbankan" Ismail dengan penuh keikhlasan, karena seperti Allah SWT firmankan: "Yang sampai pada-KU bukanlah daging atau tulang dari hewan kurban, tapi keikhlasan dan ketakwaan mereka yang berkurban". Makanya suka ngenes, kalau melihat dan juga mendengar, panitia berebut daging. Saat menyayat daging, yang daging empuk disembunyikan di balik koran atau dibungkus jaket, lalu dibawa pulang. Lah, duafa nya kebagian apa?. Tetangga saya, Mang Ayi sampe bilang,"Yah, yang miskin mah dapatnya tulang lagi tulang lagi, da daging mah sudah habis sama panitia". Ternyata yang ngurus kurban, ada kali sa-RT-eun.
Bagi saya, Idul Adha ini membangkitkan kenangan dulu saat masih tinggal di Cibabat sama Pak Haji dan Mama. Pak Haji memang dikenal sebagai orang yang punya keluasan ilmua agama, jadi setiap kali ada kurban atau orang mati, bagiannya yang ngurus. Sehabis salat Ied, pasti kami keliling ke setiap RT untuk menyembelih domba atau sapi. Dan itu sudah diajarkan sejak kecil, cara menyembelih, nyisit, dll. Jadi sebenarnya soal sembelih menyembelih bukan hal asing. Dan praktek "nyuri" daging kurban itu sudah saya lihat sejak ikut Pak Haji. Kita mah cuma ngurut dada aja ngelihat kelakukan orang yang mungkin jarang makan daging. Pulang nyembelih, biasanya bawa kulit sapi/domba atau juga kepala domba. Kalau kulit jelas dijual. Nah, kepala domba biasanya digule. Caranya dibakar dulu, bulu-bulunya dikerik biar habis. Baru setelah itu masuk ke kuali sampe matang. Tapi sampe sekarang, saya tidak pernah diberi rasa suka pada yang namanya gule ataupun sate kambiang. Ngelihat kuahnya aja, ehk langsung enek. Cukup sate ayam saja.
NB: Mas Rohman lagi melihat dombanya yang sedang dilekek sama Pak Ustad Dais di dekat mesjid al Ikhlas Babakan Sari