Tuesday, February 09, 2016

Catatan Kecil Tjimahi Heritage Trail: Telusur Jejak Kebon Kopi

Tak Ada Nyi Mas Entjeh di Sana
 
ANTUSIASME untuk mengunjungi rumah tua nan unik dan eksotik di Kebon Kopi Cibeureum, sudah menggebu-gebu sejak setahun lalu. Bahkan jauh sebelum itu. Sayang ketika itu, saya hanya bisa memandang dari pinggir jalan atau selintas saat melewati Jalan Cibeureum. Selain tidak kenal dengan penghuni rumah, ada perasaan takut campur penasaran setiap melihat rumah yang terkesan suram, sanget, seram, karena rerimbunan pohon-pohon tua.
 

 Tahun lalu, saya dan Kang Iwan mencoba bersilaturahmi sekaligus minta izin untuk mengadakan jelajah di kawasan Kebon Kopi ini. Sayang, ketika itu kami tidak mendapat izin untuk jelajah, karena alasan privasi keluarga.
 

Ketika manajemen BlueBird, yang membeli lahan dan rumah tua ini tahun lalu, mengizinkan Tjimahi Heritage untuk berkunjung, senangnya tiada tara. Walau kami tahu, perabotan tua di dalam rumah pasti sudah tidak ada, penghuni pun sudah pindah, tapi bisa masuk ke dalam rumah saja sudah cukup.
 

Sebelum mengunjungi rumah ini, memori kami dipenuhi dengan cerita-cerita soal Nyi Mas Siti Aminah atau Nyi Mas Entjeh Al Osah (selanjutnya ditulis NME), yang dinikahi pengusaha Belanda John Hendri van Blommestein. Mengapa begitu? Karena hanya informasi itu yang kami peroleh. Entah dari cerita orang, entah dari blog-blog, situs, atau portal yang pernah membahas rumah tua ini. Semuanya menyebut nama NME sebagai empunya tanah dan rumah. Cerita soal sengketa tanah di Cibeureum yang berkepanjangan juga memperkuat kesan bahwa memang Kebon Kopi ini berada dalam kuasa NME. Dalam cerita-cerita itu, disebutkan NME meninggal sekitar tahun 1970 dan dimakamkan di Cibeureum.
 

Ternyata, dengan mendatangi langsung rumah ini dan mendapat sedikit informasi dari anggota keluarga yang disampaikan melalui manajemen BlueBird, kita bisa sedikit menguak tabir yang menutupi sejarah rumah Kebon Kopi. Dan kami tak menemukan NME d sana. Tak ada kaitannya NME dengan rumah ini. 

Mungkin dulu, penghuni rumah ini bertetangga dengan NME. Karena tanah miik NME memang ada di sebelah barat rumah Kebon Kopi yang sekarang menjadi Pusat Niaga Cimahi yang tak kunjung terwujud itu. Tanah NME pun berada pula di seberang PNC, yaitu Kipal dan sekitarnya hingga ke utara berbatasan dengan rel kereta api.
 

Kami berkesempatan untuk menziarahi kompleks makam Kebon Kopi ini yang berada di belakang rumah tua. Tak kami temukan nisan dengan penanda nama NME atau Siti Aminah. Di sini, justru kami temukan makam yang cukup tua dengan penanda tahun 1855 atas nama Wangsadimarta. 

Sangat mungkin Wangsadimarta ini adalah generasi pertama penghuni rumah Kebon Kopi. Karena pada generasi berikutnya muncul nama Wangsadikrama dan Wangsakoesoemah. Dan keluarga besar Kebon Kopi ini lebih dikenal sebagai sebagai keluarga Wangsadikrama, seperti pernah dikatakan seorang penghuni rumah saat kami berkunjung tahun lalu.
 

Kabarnya mereka ini berasal dari Trenggalek Jawa Timur. Kalau kita lihat catatan sejarah, migrasi warga Jawa Wetan sudah terjadi sejak masa Mataram Sultan Agung. Mereka ikut menyerang Batavia, namun karena kalah, akhirnya memilih menetap di Priangan. Kisah keturunan-keturunan Mataram yang mukim di Cimahi juga terdengar dari daerah Cigugur.
 

Dari kunjungan singkat ini saja, kami bisa memperoleh banyak pengetahuan baru. Soal sejarah Kopi di Priangan, sejarah Kebon Kopi berikut keluarga penghuni rumah. Menjelajah untuk mengungkap sejarah itu memang mengasyikkan. Tentu rasa penasaran kami belum tuntas. Kami ingin suatu saat bisa berbincang dengan keluarga keturunan Wangsadikrama ini.(*)