Monday, July 26, 2010

Anak Peradaban

"ANAKMU bukanlah anakmu, dia adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau, tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan milikmu".

Kutipan di atas adalah penggalan lirik puitis dari penyair Khalil Gibran, yang mungkin paling banyak diketahui dan dikutip orang. Puisi yang bercerita tentang anak yang memiliki dunia dan jiwanya sendiri.

Sering pula kita dengar, anak adalah amanah atau titipan yang diberikan Tuhan. Selayaknya sebuah amanah, tentu orang tua harus dan wajib menjaga dan merawat amanah itu.

Tapi tengok data yang dimilik Lembaga Perlindungan Anak. Sepanjang tahun 2009 lalu, di Jawa Barat terjadi 800 ribu tindak kekerasan kepada anak. Itu berarti dalam satu hari terjadi sekitar 2.191 anak yang mengalami tindak kekerasan, baik dari keluarga maupun lingkungannya.

Tentu kondisi ini sangat mengenaskan. Anak-anak tak lagi memiliki kesempatan untuk menikmati masa emasnya. Mereka telah terenggut oleh trauma berkepanjangan yang terus menghantui hingga mereka besar.

Dampaknya dari trauma ini sungguh dahsyat. Banyak anak-anak yang beranjak remaja dan tumbuh dewasa kehilangan pegangan atau berjiwa labil. Mereka mudah terombang-ombing pengaruh dari kiri dan kanan.

Akibatnya, kehidupan mereka pun jadi rusak. Mereka memilih lari menjauh dari keluarga dan berlaku hidup bebas. Seks bebas dan narkoban menjadi teman. Data yang dilansir 25 Messenger Jabar menunjukkan, 56 persen remaja rentang usia 14-24 tahun Bandung sudah pernah melakukan hubungan seksual.

Momentum Hari Anak Nasional seharusnya menjadi lampu kuning tanda peringatan bahwa anak-anak di sekeliling kita berada dalam zona bahaya. Mereka dihantam dan dicekoki bertubi-tubi lewat informasi yang datang dari luar, lalu mereka pun harus menghadapi kenyataan bahwa internal keluarga kurang mendukung untuk asupan jiwa mereka.

Keprihatinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa peredaran video mesum sangat berdampak dan memengaruhi anak-anak Indonesia, hanyalah sebagian kecil persoalan yang dihadapi anak-anak kita saat ini.

Di luar sana, terjadi perbenturan antara kenyataan hidup yang karut-marut dengan nilai- nilai moralitas dan kebaikan yang diajarkan orang tua kepada anak. Anak pun akan dibuat bingung menghadapi realitas semu semacam itu. Karena tak bisa mengambil keputusan, anak akan lari kepada lingkungan yang bisa menerima dan dirasakan nyaman baginya, walaupun bisa jadi negatif bagi masyarakat.

Karena itu, mari kita bersihkan jiwa anak-anak kita dari ghibah, fitnah, tayangan kekerasan dan tidak mendidik lainnya. Isilah hati mereka dengan emas-emas kebaikan. Ajarkan dan tanamkan dalam jiwa mereka, kepribadian nabi yang begitu mulia.

Sesungguhnyanya, merekalah masa depan kita semua, masa depan negeri ini, masa depan peradaban. Di tangan mereka, peradaban akan kian cemerlang atau hancur berantakan.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 24 Juli 2010.

Monday, July 19, 2010

Maaf Cut dan Luna

SAMBIL menangis terisak, Cut Tari menyampaikan permohohan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia. Ia memulainya dengan permintaan maaf kepada Presiden SBY beserta istri, Kapolri, Kabareskrim, Kadiv Humas. Maaf itu disampaikan akibat pemberitaan yang terkait dirinya dalam kasus video porno yang telah membuat resah seluruh masyarakat.

Tidak ada satu kata pun pengakuan meluncur dari mulut Cut Tari soal kebenaran pemeran wanita di video asusila itu adalah dirinya. Sesuatu yang selama ini justru masyarakat ingin dengar secara langsung dari mulut Cut Tari, dan juga Luna Maya, atau Ariel. Di kesempatan yang berbeda, permintaan maaf dengan kalimat yang nyaris serupa juga diucapkan Luna Maya.

Mereka secara terang-terangan menyalahkan pemberitaan tentang video porno tersebut. Karena pemberitaan lah, kasus ini menjadi heboh. Karena diberitakan pula, nama mereka menjadi omongan dunia.


Kesan yang muncul, mereka ingin memosisikan diri sebagai korban. Bahwa mereka hanyalah korban dari pemberitaan, tak tahu menahu soal peredaran video porno, dan tak perlu mengakui secara terus terang bahwa merekalah pemerannya.

Kalau saja tidak ada yang memberitakan, tentu mereka, para pelaku, akan aman sentosa sepanjang masa. Tidak akan ada yang mengait-aitkan mereka dengan kasus video porno.
Memang kita tidak menutup mata terhadap media yang begitu vulgar memberitakan kasus ini. Bahkan menampilkan potongan-potongan video porno itu. Dilakukan berulang-ulang, dari pagi hingga malam, memutar berita yang sama.

Namun bukan berarti media pun salah semua. Tugas media hanyalah menyampaikan informasi kepada publik. Tinggal bagaimana mengemasnya agar sesuai dengan kode etik dan tidak melanggar norma kepatutan.

Sekarang terkait persoalan minta maaf kedua artis itu, tidak mungkin tidak ada yang memaafkan. Bukankah masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang ramah, mudah untuk memaafkan, dan mudah pula untuk melupakan.

Bahkan kalau saja tiga artis yang katanya jadi pemeran video porno itu sudah mengaku dan meminta maaf sejak awal kasus ini muncul ke permukaan, bukan tak mungkin masyarakat sudah melupakannya. Terlena oleh pesona Piala Dunia, sihir Belanda dan Spanyol, dan juga larut dalam ramalan Paul si gurita.

Untung saja Cut Tari, Luna Maya, dan Ariel, tidak tinggal di Nanggroe Aceh Darussalam, walaupun Cut Tari adalah keturunan Aceh. Kalau saja tinggal di sana, mereka tidak akan lolos dari jerat hukum syariah yang diterapkan di negeri Serambi Mekkah itu. Hukuman bagi pezina sudah jelas, dicambuk atau dirajam. Tidak ada kata maaf. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 10 Juli 2010.