Monday, February 28, 2011

Revolusi PSSI

JANGAN hanya menyebut nama Nurdin, tapi sebutkan nama lengkapnya, Nurdin Halid. Karena pemilik nama Nurdin bertebaran sampai di pojok-pojok kampung.Kasihan mereka, di pelataran halaman Kantor PSSI di Jakarta, bahkan di kandang monyet di Kebun Binatang Bandung, nama Nurdin terus diteriakkan.

"Turunkan Nurdin, turunkan Nurdin", atau "Nurdin koruptor, Nurdin koruptor".
Padahal, Nurdin yang tinggal di pesisian Ciparay, Rancaekek, Astanajapura, Haurgeulis, Pamanukan, tak pernah merasakan duduk di kursi panas ketua umum PSSI. Juga tak pernah mendapat uang panas hasil kongkalingkong impor beras. Jadi, sebut nama lengkapnya, Nurdin Halid.

Hari-hari terakhir ini, telinga Nurdin, hampir lupa, Nurdin Halid, pasti sedang panas bukan kepalang. Para pendukung pembaruan PSSI yang jelas anti-Nurdin Halid berunjuk rasa di beberapa kota, meminta Nurdin Halid tak lagi maju sebagai Ketua Umum PSSI.

Mereka pun menyerukan: Revolusi PSSI! Mungkin mereka terinspirasi Revolusi Melati yang berhasil menjungkalkan Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali, atau Revolusi Mesir yang sukses melengserkan Presiden Hosni Mubarak. Sehingga berharap, gerakan menggoyang Nurdin Halid dari kursi ketua umum PSSI bisa sukses.

Tak lolosnya Jenderal TNI George Toisutta dan pengusaha Arifin Panigoro dari verifikasi Komite Pemilihan PSSI menjadi pintu masuk terkumpulnya energi seia sekata untuk menentang Nurdin Halid. Berbagai kelompok suporter di tanah air mulai mempersatukan diri, menggalang kesamaan visi, demi satu cita-cita: Save Our Soccer.

Keterpurukan persepakbolaan Indonesia di era Nurdin Halid, yang hanya terobati saat penampilan timnas di Piala AFF 2010, menjadi alasan utama untuk tak mendudukkan lagi Nurdin Halid di kursi pemuncak PSSI. Selain itu, status Nurdin Halid yang pernah menjadi tahanan pun menjadi omongan para penggemar sepak bola di Indonesia.
Kini gerakan menggusur Nurdin Halid ini kian masif dan menggumpal. Gerakan yang sesungguhnya merupakan geliat energi besar kasih sayang para pencinta PSSI yang tak ingin melihat PSSI terus terpuruk.

Namun tentu saja, berbeda dengan revolusi sosial atau politik di kawasan Timur Tengah, Revolusi PSSI harus nunut pada tahapan-tahapan pemilihan ketua umum PSSI. Dan kini, bola ada di tangan Komite Banding. Jika Tjipta Lesmana dan kawan-kawan berani meloloskan, minimal, George Toisutta, sebagai calon ketua umum PSSI, kita boleh berharap perubahan di tubuh PSSI akan berlanjut. Tapi kalau ternyata Toisutta tetap tidak lolos, bola salju revolusi itu berada di tangan pemerintah.
Intervensi pemerintah diperlukan untuk membersihkan struktur PSSI dari pengaruh Nurdin Halid, walau itu dilarang FIFA.

Lebih baik dicekal selama beberapa tahun oleh FIFA tak boleh tampil dalam pertandingan sepak bola di bawah FIFA. Asalkan selama pencekalan itu, sepak bola Indonesia berbenah, dan muncul kembali sebagai kekuatan yang disegani, tak cuma di Asia Tenggara, tapi juga Asia, dan dunia. Semoga. (*)
Sorot, dimuat di Harian Tribun Jabar Edisi Rabu

Republik Tahu-Tempe

RIBUAN perajin tempe dan tahu terancam gulung tikar alias tutup usaha. Gara-garanya, harga bahan baku pembuat tahutempe, yaitu kacang kedelai, naik selangit hingga tak terjangkau.

Perajin yang tetap bertahan memproduksi makanan rakyat ini mengurangi jatah produksinya. Selain itu, mereka pun bersiasat. Salah satunya seperti dilakukan perajin tahu Sumedang dengan cara memperkecil ukuran tahu. Harga jual tetap sama, hanya kening pembeli pasti berkerut, karena ukuran tahu mengerut.

Kacang kedelai yang diolah para perajin ini pun kebanyakan impor. Bayangkan saja, dari konsumsi kedelai secara nasional sebanyak 2 juta hingga 2,2 juta ton, tujuh puluh persennya disuplai dari impor. Hanya tiga puluh persen yang dipasok dari pertanian dalam negeri.

Yang paling disukai adalah kacang kedelai dari Amerika Serikat. Lantaran, biji kedelai lebih besar, cocok untuk olahan tempe dan mengandung banyak sari kedelai tahu. Soal kualitas mungkin sebanding dengan lokal. Tapi soal rasa, kacang kedelai lokal tetap tak tertandingi. Sayangnya, produksinya kalah banyak dan harga lebih mahal.
Kondisi ini sungguh mengherankan sekaligus memprihatinkan.

Sejak lama, bahkan sejak kita lahir, didengung-dengungkan bahwa negeri ini subur makmur gemah ripah loh jinawi. Tongkat sekalipun ditancapkan di tanah nusantara, pasti tumbuh menjadi tanaman. Karena itu pula, gembar-gembor swasembada pangan, termasuk kedelai, selalu menjadi program utama, setiap tahun di setiap pemerintahan yang berkuasa. Maklum, negeri kita ini katanya negara agraris, negeri kaum petani, walau kenyataannya air lebih banyak mengepung tanah.

Efek dari kelangkaan kedelai lokal dan kenaikan harga bisa merembet ke sektor lain. Sebagai makanan rakyat yang paling populer, tahu-tempe dengan mudah ditemukan di setiap tempat makan, mulai kelas warung kucing, warung tegal, hingga restoran-restoran besar.

Apa jadinya jika untuk membeli tahu-tempe pun ternyata susah dan mahal tak terkira? Lantas apa lagi menu utama makan rakyat pinggiran yang sudah merasa tercukupi gizinya dengan tahutempe ini.

Jangan sampai harga mahal kedelai mendorong munculnya revolusi tahu-tempe, seperti halnya revolusi di Mesir yang dipicu salah satunya oleh mahalnya harga roti. Jika semua sudah serba mahal, perut tak bisa menahan, revolusi apapun sangat mungkin bangkit.

Inilah yang harus dipikirkan pemerintah, bagaimana caranya agar republik tahu-tempe ini tidak tergantung pengadaan kedelai dari luar. Bagaimana caranya tanah yang subur luas menghampar ini bisa produktif menghasilkan bahan baku tahutempe lebih banyak.

Karena kita tahu, para pemimpin bangsa ini pun besar dan tumbuh bersama dengan makanan rakyat ini. Dari asupan tahutempe pula, lahir bocah-bocah ajaib dan jenius yang andal di bidang teknologi komunikasi di abad 21. Di usia muda, mereka mampu menciptakan program antivirus, games edukatif, dan situs ala Facebook. Kita harus bangga, sesungguhnya republik tahutempe ini tak kalah oleh negeri hotdog, hamburger, dan pizza.(*)
Sorot, dimuat di Harian Tribun Jabar edisi Jumat 11 Februari 2011.

Saturday, February 05, 2011

Jualan Baju: Produk Baru BJE 096-099

BAJU ENGGAL kembali mengeluarkan produk baju terbaru di awal Februari 2011 ini. Kali ini dengan kode mulai BJE 096 hingga 099. BJE 096 dan 098 merupakan pakaian dari bahan katun dengan motif bunga warna ungu. Bedanya, 096 adalah tangan panjang dengan sedikit tambahan variasi di bagian bawah berupa tali. Sedangkan 098 merupakan baju tangan pendek.



Sementara BJE 097 adalah pakaian dengan bahan katun paris. Ini jenis katun yang agak tipis, sehingga ringan dan tak panas saat dipakai. Warnanya adalah merah fanta dengan motif bunga seperti batik. Di model ini, ada tambahan variasi yaitu silky di bagian leher, tangan, dan pinggang.

Sedangkan BJE 099 adalah pakaian bertangan pendek. Bahan tetap sama dari katun dengan warna hijau adem.

Tersedia dari ukuran kecil mulai besar: 6 (XS), 8 (S), 10 (M), 12 (L) 14 (XL), 16 (XXL), 18 (LLL) dan 20 (Super LLL). Harga pakaian ini Rp 50.000 lho. Kecuali untuk ukuran nomor 20, harganya Rp 60.000. Maklum lebih banyak bahan yang dipakai. Seperti produk Baju Enggal lainnya, produk ini juga limited edition alias edisi terbatas. Paling banyak satu model hanya 20 pcs. Yang BJE 099 malah hanya tinggal 3 psc lagi. Pemesanan bisa via Facebook atau kontak ke 08122007706. Melayani juga reseller dengan harga khusus (*)


Gejolak Mesir

KONDISI Mesir kian bergejolak dan makin mengancam stabilitas keamanan di wilayah Afrika Utara dan Timur Tengah. Bagaimanapun, Mesir adalah negeri terbesar di belahan dunia Arab, selalu didaulat sebagai pemimpin negara kawasan ini. Jika negeri Cleopatra ini terguncang, negara-negara lain pun turut terpengaruh, tak terkecuali Israel dan Amerika Serikat.

Karisma Husni Mubarak yang 30 tahun menduduki kursi kepresidenan tanpa pesaing membuatnya disegani negara-negara lain. Sampai-sampai, perdamaian di Palestina tidak akan terjadi tanpa campur tangan Mesir.

Namun masa pemerintahan yang lama membuat rakyat terjebak dalam hegemoni Mubarak. Tak ada yang lain kecuali Mubarak. Dan percikan wangi harum Revolusi Melati di Tunisialah yang membangkitkan kesadaran kaum intelektual Mesir untuk berbuat serupa. Kekuatan people power kembali membuktikan tuahnya. Rakyat Tunisia berhasil memaksa mundur Ben Ali yang juga puluhan tahun jadi presiden. Mereka pun menolak pembentukan pemerintahan baru yang masih diisi anasir-anasir lama, konco Ben Ali.

Harapan itu pula yang digenggam para demonstran antipemerintahan Husni Mubarak. Mereka ingin menjungkalkan despot yang telah puluhan tahun bersemayam dalam benak mereka. Harum Revolusi Melati telah menggugah memori bawah sadar mereka, bahwa selama ini mereka berada di bawah telapak kaki seorang diktator berwajah bayi.

Tentu tiupan angin kebebasan dari Tunisia itu hanyalah faktor eksternal yang memicu percepatan revolusi di Mesir. Justru faktor-faktor internal Mesir sendiri yang sebenarnya bagai bara di dalam sekam. Terlihat tenang di permukaan, tapi menyimpan api di bagian dalam. Pengangguran merebak di mana-mana, perekonomian tak begitu baik, kondisi sosial yang mulai semrawut, serta hegemoni Partai Nasional Demokratik yang dipimpin Husni dengan Sekjen anaknya sendiri, Gamal, yang membuat sebagian besar rakyat jenuh, bahkan muak, dengan kehidupan yang tak pernah berubah itu.

Persoalan yang muncul kemudian, sejuta orang antipemerintah Husni Mubarak yang berkumpul di Lapangan Tahrir belum mampu menjungkalkan Mubarak dalam waktu cepat. Alih-alih lengser, Husni Mubarak dalam pidatonya yang berapi-api justru menolak mundur hingga pemilu pada September mendatang. Hanya ia berjanji tidak akan mencalonkan diri lagi menjadi presiden.

Yang terjadi selanjutnya adalah bentrokan antara massa antipemerintah Mubarak dengan massa pro-Mubarak yang didukung militer. Inilah sesungguhnya yang dikhawatirkan; Mesir bakal terjebak dalam perang saudara tak berkesudahan.
Kalau itu yang terjadi, kita tak bisa membayangkan bagaimana wajah negeri seribu menara ini. Akankah seperti Irak saat awal-awal Saddam Husein digulingkan Amerika? Dalam kondisi seperti itu, memang wajar jika Pemerintah Indonesia segera mengevakuasi warga negara Indonesia dari Mesir. Bagaimanapun keselamatan jiwa adalah yang paling utama diprioritaskan.

Indonesia dan Mesir punya keterkaitan sejarah dan hubungan yang kuat. Mesir lah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Presiden pertama RI, Soekarno, bersahabat akrab dengan Presiden kedua Mesir, Gamal Abdul Naseer.
Dan Mesir dengan Universitas Al Azharnya, juga Ain Syams, dan Iskandariyah, menjadi impian para santri dan mahasiswa Indonesia yang bergairah melanjutkan pendidikan di bidang ilmu agama. Jebolan-jebolan pesantren di Soreang, Ciamis, Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon, atau Gontor biasanya berorientasi meneruskan sekolah di sana. Mudah-mudahan impian mereka tak putus di tengah jalan, hanya karena gejolak politik ini. Semoga Mesir segera pulih kembali. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 5 Februari 2011.