Monday, May 19, 2014

Koalisi Berebut Kursi

ADAGIUM politik "tak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi" benar adanya. Tengok kasak-kusuk koalisi partai politik pascapenetapan hasil pemilu legislatif hari-hari ini. Partai yang kemarin-kemarin bergandeng akrab, hari ini bisa bertentangan. Sebaliknya, partai yang dulu berseberangan, sekarang bisa enak makan siang bersama.

Apakah yang mempersatukan atau memisahkan mereka? Ideologikah? Bukan. Yang mempersatukan dan memisahkan partai politik ini adalah kepentingan. Semua ditentukan oleh satu kepentingan, yaitu merebut kursi presiden yang bakal ditinggalkan SBY.

Lihat drama yang tak dramatis namun berbalur tangis dari PPP. Ketika Ketua Umum mereka, Suryadharma Ali menyatakan mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden, kubu lain langsung sewot. Saling pecat pun terjadi. Ketua memecat wakil ketua dan sekretarisnya, lalu wakil ketua memecat ketuanya. Lalu semua kembali rujuk dan menggelar rapat pimpinan nasional untuk menentukan dukungan. Ternyata tak jauh juga, dukungan itu tetap jatuh ke Prabowo.

Memang hanya sosok Prabowo dan Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjadi aktor terpenting calon presiden. Partai politik di luar Gerindra dan PDIP, minus Partai Golkar dan Demokrat, semua menyorot ke dua sosok ini. PKB dan Nasdem sudah merapat ke Jokowi. Kabarnya PKS, PAN, dan Hanura sudah siap berlabuh ke pangkuan Prabowo. Lantas di mana gerangan posisi Golkar dan Demokrat?

Patut dicermati, sebagai partai politik tertua yang sudah makan asam garam mengarungi politik Indonesia, Golkar tak pernah "terkalahkan". Boleh saja dalam pemilu legislatif, Golkar hanya jadi nomor dua. Tengok sejak Reformasi 1998 bergulir, Golkar tak pernah lepas dari lengan pemerintah yang berkuasa. Tak sekali pun partai berlambang pohon beringin itu menjadi partai di luar pemerintahan. Bagaimana carut marutnya kabinet koalisi pelangi, Golkar pasti ada di dalamnya. Golkar selalu selamat.

Jika koalisi hanya mempertandingkan dua pasang kandidat, Prabowo dan cawapresnya serta Jokowi dan cawapresnya, tak salah jika Arbi Sanit, pengamat politik UI, mengatakan, pemenangnya kemungkinan besar adalah Jokowi. Apabila Prabowo jadi menggandeng Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa, kekuatan keduanya tidak akan mampu menandingi Jokowi. Terlebih jika Jokowi jadi menggandeng Abraham Samad atau Jusuf Kalla.

Artinya, sinyal-sinyal yang dipancarkan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie untuk merapat ke PDIP adalah visi yang jauh ke depan, dengan mengorbankan keinginan Ical, sekaligus menjaga tradisi berada dalam lingkar kekuasaan.

Lalu kemana gerangan Demokrat akan berlabuh? Hambatan psikologis terbesar tentu akan muncul jika bergabung dengan PDIP. Lebih memungkinkan apabila Demokrat bergabung dengan Gerindra, walau harus memendam keinginan untuk mengajukan cawapres.

Tapi menjadi oposisi pun bukanlah hal buruk. Terlebih jika Demokrat benar-benar mampu mengkritisi dan mengevaluasi pemerintahan yang akan datang, bukan mustahil itu jadi modal besar untuk kembali berkuasa pada 2019 nanti.

Lalu di mana posisi rakyat, pemilik sesungguhnya kedaulatan ketika omong-omong koalisi ini diperbincangkan? Nanti, tunggu giliran, kalau kursi presiden sudah ada yang mendudukinya, baru rakyat diperhatikan. Sekarang, kita jadi penonton yang baik saja dulu. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu (14/5).

No comments: