Monday, February 28, 2011

Republik Tahu-Tempe

RIBUAN perajin tempe dan tahu terancam gulung tikar alias tutup usaha. Gara-garanya, harga bahan baku pembuat tahutempe, yaitu kacang kedelai, naik selangit hingga tak terjangkau.

Perajin yang tetap bertahan memproduksi makanan rakyat ini mengurangi jatah produksinya. Selain itu, mereka pun bersiasat. Salah satunya seperti dilakukan perajin tahu Sumedang dengan cara memperkecil ukuran tahu. Harga jual tetap sama, hanya kening pembeli pasti berkerut, karena ukuran tahu mengerut.

Kacang kedelai yang diolah para perajin ini pun kebanyakan impor. Bayangkan saja, dari konsumsi kedelai secara nasional sebanyak 2 juta hingga 2,2 juta ton, tujuh puluh persennya disuplai dari impor. Hanya tiga puluh persen yang dipasok dari pertanian dalam negeri.

Yang paling disukai adalah kacang kedelai dari Amerika Serikat. Lantaran, biji kedelai lebih besar, cocok untuk olahan tempe dan mengandung banyak sari kedelai tahu. Soal kualitas mungkin sebanding dengan lokal. Tapi soal rasa, kacang kedelai lokal tetap tak tertandingi. Sayangnya, produksinya kalah banyak dan harga lebih mahal.
Kondisi ini sungguh mengherankan sekaligus memprihatinkan.

Sejak lama, bahkan sejak kita lahir, didengung-dengungkan bahwa negeri ini subur makmur gemah ripah loh jinawi. Tongkat sekalipun ditancapkan di tanah nusantara, pasti tumbuh menjadi tanaman. Karena itu pula, gembar-gembor swasembada pangan, termasuk kedelai, selalu menjadi program utama, setiap tahun di setiap pemerintahan yang berkuasa. Maklum, negeri kita ini katanya negara agraris, negeri kaum petani, walau kenyataannya air lebih banyak mengepung tanah.

Efek dari kelangkaan kedelai lokal dan kenaikan harga bisa merembet ke sektor lain. Sebagai makanan rakyat yang paling populer, tahu-tempe dengan mudah ditemukan di setiap tempat makan, mulai kelas warung kucing, warung tegal, hingga restoran-restoran besar.

Apa jadinya jika untuk membeli tahu-tempe pun ternyata susah dan mahal tak terkira? Lantas apa lagi menu utama makan rakyat pinggiran yang sudah merasa tercukupi gizinya dengan tahutempe ini.

Jangan sampai harga mahal kedelai mendorong munculnya revolusi tahu-tempe, seperti halnya revolusi di Mesir yang dipicu salah satunya oleh mahalnya harga roti. Jika semua sudah serba mahal, perut tak bisa menahan, revolusi apapun sangat mungkin bangkit.

Inilah yang harus dipikirkan pemerintah, bagaimana caranya agar republik tahu-tempe ini tidak tergantung pengadaan kedelai dari luar. Bagaimana caranya tanah yang subur luas menghampar ini bisa produktif menghasilkan bahan baku tahutempe lebih banyak.

Karena kita tahu, para pemimpin bangsa ini pun besar dan tumbuh bersama dengan makanan rakyat ini. Dari asupan tahutempe pula, lahir bocah-bocah ajaib dan jenius yang andal di bidang teknologi komunikasi di abad 21. Di usia muda, mereka mampu menciptakan program antivirus, games edukatif, dan situs ala Facebook. Kita harus bangga, sesungguhnya republik tahutempe ini tak kalah oleh negeri hotdog, hamburger, dan pizza.(*)
Sorot, dimuat di Harian Tribun Jabar edisi Jumat 11 Februari 2011.

No comments: