Saturday, March 22, 2014

Hotel Rustoord Tjimindi (Seri Sejarah Cimahi)

HOTEL Rustoord, Tjimindi 2 April 1937. Sekelompok remaja berpose di kolam renang Hotel Rustoord. Ada beberapa foto lain dari kolam renang hotel ini. Hanya foto kolam renang, tapi tidak ada foto bentuk bangunan hotel Rustoord ini.

Kemungkinan besar lokasi hotel ini ada di antara PNC, perumahan, lahan Tuan Doosman, dan lahan kosong yang sekarang akan dijadikan dealer. Selain di Cimindi, Hotel Rustoord juga ada di Linggarjati, Kuningan, yang sekarang menjadi museum Perjanjian Linggardjati. Kemudian ada pula Hotel Rustoord di Padang. (*)

Kampanye Sunyi

EMPAT hari sudah kampanye partai politik pemilihan legislatif berlangsung. Adakah gaungnya dirasakan oleh masyarakat? Sepertinya tidak, atau mungkin belum. Indikasinya mudah. Dalam setiap kampanye tatap muka, terutama yang dilakukan partai dan caleg di tingkat kota atau kabupaten, hanya sedikit warga yang hadir. Kebanyakan yang datang adalah kader dan simpatisan partai.

Kampanye terbuka di lapangan-lapangan yang menjadi jatah partai pun ternyata bukan lagi arena yang menarik untuk didatangi. Di Kota Bandung, Kota Cimahi, bahkan mungkin di berbagai kota lainnya, kampanye dengan mendatangkan massa banyak dan penyanyi dangdut mulai ditinggalkan. Paling-paling, massa banyak akan dihadirkan ketika partai menggelar kampanye akbar tingkat nasional.

Kini, partai atau caleg pun lebih memilih jalan sunyi, kampanye secara gerilya, door to door, dari rumah ke rumah, agar warga bersimpati dan kemudian tergerak untuk memilih mereka. Cara seperti itu diyakini lebih efektif dan irit biaya, ketimbang kampanye panggung terbuka.  Apakah kampanye model seperti ini yang juga dilakukan secara instan akan menggerakkan rakyat untuk datang ke tempat pemilihan suara? Belum tentu juga.

Kita harus ingat, bahwa waktu kampanye yang resmi kurang dari satu bulan. Padahal, sesungguhnya ada waktu kampanye yang lebih lama yang bisa dimanfaatkan, yaitu sejak Pemilu 2009 usai dan para wakil rakyat duduk di kursi parlemen.

Rentang waktu lima tahun itulah sejatinya kampanye yang paling efektif dan melekat dalam ingatan masyarakat. Ketika kader-kader partai bekerja untuk kepentingan masyarakat. Ketika masyarakat dirundung bencana alam dan mereka hadir tanpa pamrih, terjun di garda terdepan.

Ketika para anggota dewan turun ke tengah masyarakat membela kepentingan rakyat atau berjuang di parlemen untuk menggolkan peraturan daerah yang prorakyat, di situlah sebetulnya kampanye itu sudah berlangsung.

Tanpa perlu menyebutkan partai asal, aksi kader-kader partai itu akan diingat dan menetap dalam memori masyarakat. Tak perlu bersusah payah selama satu bulan blusukan dan menghambur-hamburkan isi kantong dan tabungan, kampanye itu berjalan secara alamiah.

Namun jika yang didengar atau dilihat masyarakat selama lima tahun terakhir ini hanyalah berita korupsi dan suap sogok, yang melibatkan anggota dewan, jangan salahkan apabila kampanye hari ini tidak akan berbekas sama sekali. Ibarat air di daun talas, kegiatan blusukan, kukurusukan, yang dilakukan para calon anggota legislatif hanya numpang lewat. Diingat sekejap saja, untuk kemudian dilupakan.

Masyarakat kita semakin berpengalaman dan cerdas menghadapi rutinitas pemilu ini. Puluhan tahun ditempa dunia demokrasi melalui pemilu demi pemilu dengan beragam partai politik yang datang dan pergi, masyarakat tahu siapa dan kapan mereka akan menentukan pilihannya.

Masyarakat tak bisa lagi ditipu, dibodohi, dan diiming-imingi dengan janji yang hanya manis di mulut, tapi pahit dalam kenyataan. Masyarakat tahu, mana calon anggota legislatif yang mendadak dermawan dan mana yang tanpa pamrih. Mereka sudah merekam jejak caleg yang tiba-tiba berjiwa sosial, ngedadak someah. Mereka catat dalam hati, siapa saja orang-orang yang bekerja dalam kesunyian untuk masyarakat.

Pada saatnya nanti, 9 April yang akan datang, masyarakat sudah tahu apa keputusan hatinya, untuk memilih siapa atau pun tidak memilih siapa-siapa. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar, edisi Kamis 20 Maret 2014.

Saturday, March 01, 2014

Selamatkan Stadion Sangkuriang


ISU soal alih fungsi Stadion Sangkuriang di Kota Cimahi, menjadi mal bernuansa olahraga (sport centre), sebenarnya sudah bergulir sejak tahun lalu. Rencana makin terbuka, ketika Tribun menurunkan liputan khusus tentang Stadion Sangkuriang Jadi Mal, Desember 2013.

Reaksi masyarakat Cimahi atas rencana pembangunan sport centre mall di lahan Stadion Siliwangi meledak di pertengahan Februari ini. Itu terjadi setelah muncul pernyataan penegasan dari Direktur PD Jati Mandiri, Maktal Nugraha, bahwa di lahan Stadion Sangkuriang akan dibangun mal berlantai enam.
Selain area belanja, mal itu juga akan mengakomodasi konsep community centre, olahraga seperti atletik dan bela diri, namun bakal menghilangkan sepak bola. Alasan sepak bola dihilangkan dari kawasan Sangkuriang, karena persepakbolaan Kota Cimahi tidak berprestasi.
Walau pun punya tiga belas lapangan sepak bola di seantero Cimahi, kata Maktal, prestasinya minim. Lebih jauh lagi, lanjut Maktal, lapang sepak bola bukan dihilangkan, tapi bakal dipindahkan ke lahan milik Pemkot di daerah Cileuweung, Cipageran.

Tentu bukan sekadar pemindahan lahan sepak bola yang dipersoalkan masyarakat Cimahi. Pembangunan mal itu sendiri merupakan masalah. Mengapa? Karena mal-mal yang ada di Cimahi pun tidak optimal. Cimahi Mall, misalnya, sampai kini kios-kios belum juga bisa dipenuhi para pelaku usaha. Apalagi Pasar Atas Baru, ibarat gedung hantu yang dibiarkan tak berpenghuni.

Persoalan lain, PD Jati Mandiri selaku pengelola aset Kota Cimahi, memiliki catatan buruk dalam hal pengelolaan dan manajemen. Kasus pembangunan Pusat Niaga Cibeureum sampai kini tak jelas juntrungannya. Saat peletakan batu pertama oleh Menteri BUMN, Dahlan Iskan, terasa seperti sebuah seremoni megah dan menawan. Alih-alih beres, PNC kini mangkrak, kios-kios belum jadi, para konsumen pun menagih kembali investasi mereka.

Dari sisi historis, jejak Stadion Sangkuriang ini terentang sejak pascakemerdekaan. Dari semula lapang di pinggiran kebun bambu, kemudian warga mewakafkannya untuk dijadikan stadion. Dan jadilah Stadion Sangkuriang pada 1974, stadion yang pernah menjadi kebanggaan warga Kabupaten Bandung saat Persikab masih berjaya.

Harus diakui, prestasi sepak bola Cimahi tidak mencorong atau tidak ada. Tapi ketiadaan prestasi itu harus dilihat sebagai bagian dari kelalaian Pemerintah Kota Cimahi dalam hal pembinaan olahraga. Bagaimana mungkin bisa berprestasi jika sarananya saja tidak dirawat? Bahkan kondisi stadion terkesan dibiarkan menjadi bobrok, karena anggaran perawatan stadion tak pernah diajukan.

Gelombang penolakan sangat keras terjadi di dunia maya. Tanda pagar atau hashtag #savestadionsangkuriang terus berseliweran sebagai bentuk dukungan di jejaring sosial, baik Facebook maupun Twitter. Tentu jangan meremehkan warga dunia maya. Kasus Prita Mulyasari, contohnya. Dukungan terhadap Prita itu muncul pertama kali dari ranah dunia maya.

Jika penolakan atas rencana alih fungsi ini menjadi masif, bukan hal mustahil menjelma menjadi sebuah kekuatan sosial di ranah nyata untuk bersama-sama menolak rencana pembangunan Stadion Sangkuriang menjadi mal. Kita bisa mengambil contoh kasus rencana pembangunan kondominium, hotel, dan restoran di kawasan Babakan Siliwangi, Bandung. Bertahun-tahun didemo dan diprotes, akhirnya nota kesepahaman antara Pemkot Bandung dan pihak pengembang bisa dibatalkan. Artinya, ini bisa dijadikan semacam yurisprudensi bahwa kebijakan yang tidak prorakyat, apabila ditolak oleh rakyat, ternyata bisa batal.

Sebetulnya, dengan merenovasi dan mempercantik kembali Stadion Sangkuriang, itu sudah cukup. Apabila Pemkot Cimahi keberatan dengan dana renovasi yang bisa puluhan miliar, tentu bisa disiasati dengan penganggaran selama beberapa tahun anggaran.

Belajarlah dari pengalaman, bahwa keberadaan mal tak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Mengutip kembali ungkapan Wali Kota Bogota, Kolombia, Enrique Penalosa, bahwa makin banyak jumlah mal, makin sakitlah kota tersebut. Karena pembangunan mal dipastikan telah memangkas ruang publik. Ataukah Cimahi memang kota yang sedang sakit? (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar,  Sabtu 22 Februari 2014.