Saturday, March 01, 2014

Selamatkan Stadion Sangkuriang


ISU soal alih fungsi Stadion Sangkuriang di Kota Cimahi, menjadi mal bernuansa olahraga (sport centre), sebenarnya sudah bergulir sejak tahun lalu. Rencana makin terbuka, ketika Tribun menurunkan liputan khusus tentang Stadion Sangkuriang Jadi Mal, Desember 2013.

Reaksi masyarakat Cimahi atas rencana pembangunan sport centre mall di lahan Stadion Siliwangi meledak di pertengahan Februari ini. Itu terjadi setelah muncul pernyataan penegasan dari Direktur PD Jati Mandiri, Maktal Nugraha, bahwa di lahan Stadion Sangkuriang akan dibangun mal berlantai enam.
Selain area belanja, mal itu juga akan mengakomodasi konsep community centre, olahraga seperti atletik dan bela diri, namun bakal menghilangkan sepak bola. Alasan sepak bola dihilangkan dari kawasan Sangkuriang, karena persepakbolaan Kota Cimahi tidak berprestasi.
Walau pun punya tiga belas lapangan sepak bola di seantero Cimahi, kata Maktal, prestasinya minim. Lebih jauh lagi, lanjut Maktal, lapang sepak bola bukan dihilangkan, tapi bakal dipindahkan ke lahan milik Pemkot di daerah Cileuweung, Cipageran.

Tentu bukan sekadar pemindahan lahan sepak bola yang dipersoalkan masyarakat Cimahi. Pembangunan mal itu sendiri merupakan masalah. Mengapa? Karena mal-mal yang ada di Cimahi pun tidak optimal. Cimahi Mall, misalnya, sampai kini kios-kios belum juga bisa dipenuhi para pelaku usaha. Apalagi Pasar Atas Baru, ibarat gedung hantu yang dibiarkan tak berpenghuni.

Persoalan lain, PD Jati Mandiri selaku pengelola aset Kota Cimahi, memiliki catatan buruk dalam hal pengelolaan dan manajemen. Kasus pembangunan Pusat Niaga Cibeureum sampai kini tak jelas juntrungannya. Saat peletakan batu pertama oleh Menteri BUMN, Dahlan Iskan, terasa seperti sebuah seremoni megah dan menawan. Alih-alih beres, PNC kini mangkrak, kios-kios belum jadi, para konsumen pun menagih kembali investasi mereka.

Dari sisi historis, jejak Stadion Sangkuriang ini terentang sejak pascakemerdekaan. Dari semula lapang di pinggiran kebun bambu, kemudian warga mewakafkannya untuk dijadikan stadion. Dan jadilah Stadion Sangkuriang pada 1974, stadion yang pernah menjadi kebanggaan warga Kabupaten Bandung saat Persikab masih berjaya.

Harus diakui, prestasi sepak bola Cimahi tidak mencorong atau tidak ada. Tapi ketiadaan prestasi itu harus dilihat sebagai bagian dari kelalaian Pemerintah Kota Cimahi dalam hal pembinaan olahraga. Bagaimana mungkin bisa berprestasi jika sarananya saja tidak dirawat? Bahkan kondisi stadion terkesan dibiarkan menjadi bobrok, karena anggaran perawatan stadion tak pernah diajukan.

Gelombang penolakan sangat keras terjadi di dunia maya. Tanda pagar atau hashtag #savestadionsangkuriang terus berseliweran sebagai bentuk dukungan di jejaring sosial, baik Facebook maupun Twitter. Tentu jangan meremehkan warga dunia maya. Kasus Prita Mulyasari, contohnya. Dukungan terhadap Prita itu muncul pertama kali dari ranah dunia maya.

Jika penolakan atas rencana alih fungsi ini menjadi masif, bukan hal mustahil menjelma menjadi sebuah kekuatan sosial di ranah nyata untuk bersama-sama menolak rencana pembangunan Stadion Sangkuriang menjadi mal. Kita bisa mengambil contoh kasus rencana pembangunan kondominium, hotel, dan restoran di kawasan Babakan Siliwangi, Bandung. Bertahun-tahun didemo dan diprotes, akhirnya nota kesepahaman antara Pemkot Bandung dan pihak pengembang bisa dibatalkan. Artinya, ini bisa dijadikan semacam yurisprudensi bahwa kebijakan yang tidak prorakyat, apabila ditolak oleh rakyat, ternyata bisa batal.

Sebetulnya, dengan merenovasi dan mempercantik kembali Stadion Sangkuriang, itu sudah cukup. Apabila Pemkot Cimahi keberatan dengan dana renovasi yang bisa puluhan miliar, tentu bisa disiasati dengan penganggaran selama beberapa tahun anggaran.

Belajarlah dari pengalaman, bahwa keberadaan mal tak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Mengutip kembali ungkapan Wali Kota Bogota, Kolombia, Enrique Penalosa, bahwa makin banyak jumlah mal, makin sakitlah kota tersebut. Karena pembangunan mal dipastikan telah memangkas ruang publik. Ataukah Cimahi memang kota yang sedang sakit? (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar,  Sabtu 22 Februari 2014.